Sabtu, 02 Juli 2011

DAN DIALAH LELAKI YANG TERINDAH

Aku memandangnya dari balik tirai jendela. Kulihat dirinya duduk di beranda sembari melepaskan penat yang seharian menggelantunginya. Bagaimana tidak, 10 jam menyetir dilakoninya seorang diri tanpa berhenti. Dirinya memandang nanar ke depan, kepada pot-pot bunga yang tertata sempurna. Raut mukanya datar, tetapi jelas memancarkan kelelahan yang luar biasa. Kulihat dirinya semakin tampak tua, dengan rambut hitam berhiaskan uban yang semakin merajalela. Bahunya yang kokoh kini mulai melayu dan terasa ngilu di sepanjang waktu karena sendi-sendinya tak sekuat dulu. Kulitnya mulai mengeriput dan kantung matanya menurun menunjukkan dirinya yang kurang tidur. Tetapi tetap, yang tak pernah hilang dan selalu membekas di wajahnya, senyum yang bersahaja.

Belum genap sepuluh menit dirinya menyandarkan kelelahan di atas kursi  yang muali usang, sebuah erangan memanggil namanya dari kamar di sebelahnya. Tanpa sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya segera dia langkahkan kaki menuju sumber suara, lagi kuintip dari balik jendela. Kulihat dengan penuh kasih sayang dirinya memberi pijatan untuk istrinya tersayang yang menderita sakit bertahun-tahun lamanya. Tak sedikitpun dia tampakkan kelelahan yang belum beranjak dengan sempurna, dan lagi-lagi sebuah senyuman yang bersahaja dia berikan kepada istrinya.

Tak pernah kudengar sekalipun dia mengeluh. Apalagi menyesali sakit yang diderita istrinya, dirinya selalu setia, mencari di mana obat itu berada, selalu berlapang dada, mengurus keperluan rumah tangga dan meladeni istrinya dengan sepenuh jiwa. Di zaman sekarang ini, dengan perbandingan laki-laki dan wanita 1:3 mungkin merupakan hal-hal yang sah saja jika dia berpaling ke lain hati, apalagi sang istri sudah tak mampu mengurusi. Tetapi dirinya masih saja tegak berdiri , di dekat sang istri , belahan jiwanya, membimbing, memberi semangat berteman lantunan doa.

22.30. Kulihat erangan terdengar dari rumah sebelah. Yah, mertua yang berdekatan rumahnya mulai meminta haknya. Dirinya segera bangkit, setelah meyakinkan diri bahwa istri tercintanya telah tidur, dilangkahkan kakinya menuju kamar mertua laki-lakinya. Dan tak lama, kucium bau minyak kayu putih yang digunakan untuk memijit mertuanya. Lagi tak kudengar sekalipun dia mengeluh. Sebaliknya, dia masih bisa mendengar segala keluhan dan memberikan semangat hidup kepada mertuanya.

Ah, mataku mulai berat. Ini sudah pukul 11 lebih, kulangkahkan kaki menuju kamar mandi untuk cuci muka dan tidur. Sekilas kulihat, dirinya masih asyik bercerita dengan mertuanya. Bercerita tentang kehidupan yang katanya begitu menyenangkan.

Mataku berat dan aku menggeliat, kulirik jam dinding di kamarku. Pukul 02.00. Kerongkonganku terasa kering, kulangkahkan kaki menuju dapur dan setengah terkejut kudapati dirinya masih terpaku di depan sebuah laptop usang ketinggalan jaman. Mengerjakan laporan-laporan dan tugas untuk anak didiknya esok pagi di sekolahan.

Dan pagi akhirnya datang dengan segala dingin yang menusuk tulang, membuatku masih ingin bergumul dengan selimut tebalku. ” Bangun dek, ayo sholat dulu, jatah puasa gak?” begitu suara serak itu terdengar dari balik pintu. Aku menggeliat malas, dengan setengah hati kulangkahkan kaki menuju kamar mandi. Kudapati dirinya lebih dahulu melangkahkan kaki menuju mushola.  Jarum jam menunjukkan pukul setengah 4 dan di dapur kudapati nasi sedang ditanak , serta air yang direbus untuk mandi istri tercintanya. Aku menunduk, entah rasa bersalah mulai menyeruak, memberontak memenuhi rongga-rongga hati.

Kulihat dirinya sedang menangis sesenggukan ketika aku berjalan memasuki mushola yang lebih mirip dengan kamar kosong tak berpenghuni. Tampak bulir-bulir bening mengalir dari mata sayunya, membasahi kulit keriput yang mulai kering dan tak terawat. Ingin rasanya menyekanya, tetapi tak sanggup rasanya melakukannya bahkan untuk sekedar melihatnya. Aku hanya mampu tertunduk, mataku berembun dan mulai gerimis. Ah...aku tak mampu berkata-kata lagi.

Dan dalam sepertiga malam itu, aku hanya mampu mengeluarkan isakan yang telah lama kutahan. Ya Allah, maafkan hamba yang tak pernah bisa meringankan bebannya, tak pernah bisa membuatnya bahagia, dan tak pernah bisa membuatnya bangga. Malah sebaliknya, hamba hanya bisa merepotkan, membebani dengan segala tuntutan akan kebutuhan. Berikan hamba kesempatan Ya Allah, berikan hamba jalan, berikan hamba cara sekali saja agar hamba mampu membuatnya bahagia, meski itu semua tak kan cukup membalas kebaikannya. Yah, dia, dan hanya dia. Karena dialah ayah, lelaki yang terindah.....

Surakarta, 24 Juni 2011
16.52 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar