Langit sekarat. Dalam diam dia menangis meratap. Berteman mendung yang memandanginya tanpa kata. Tatapannya nanar, tanpa binar. Wajahnya lesu penuh raut pilu. Menunduk takluk akan setiap jengkal takdir yang ditetapkan. Tangisnya membumi, bercampur isakan gelegar yang sungguh menyayat hati.
Berulangkali ditepisnya awan-awan yang bergelantungan, mencoba menghibur dengan sejuta gurauan. Hatinya beku, mengeras menjadi kerak-kerak yang membatu. Ada kegundahan yang membuncah, menyusupi setiap relung hatinya. Mengoyak paksa sudut-sudut jiwa.
Dirinya terpaku, kali ini membisu. Ingin rasanya dia melepaskan dari belenggu. Tapi dirinya bingung, linglung. Dari mana dan bagaimana dia membagi tanya. Ada rasa sesak yang menyeruak. Ada rasa bimbang yang menyerang, ada rasa takut yang bergelut, ada rasa bersalah yang semakin berdarah-darah. Semua bergumul menjadi satu dalam wadah kegalauan yang membuat pilu. Andai mampu mengulang waktu, andai mampu menghapus detik yang berlalu. Ingin dirinya mengubah masa lalu. Berdiri tegak tanpa belenggu.
Langit semakin terduduk lesu, jiwanya menggeliat hebat. Ingin rasanya dia menyapa gunung di kakinya sekedar ingin berbagi apa yang dia rasa. Tetapi dirinya tak mampu, lebih memilih diam dan bisu. Dirinya terpekur, mencoba untuk mengumpulkan syukur. Bersimpuh luruh dalam peluh. Menengadah kepada angkasa dalam setangkup doa, penuh harap dia meminta, Tuhan mendengar apa yang dia kata.
Surakarta, 26 Mei 2011
19.40 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar