Hidup ini sulit. Penuh dengan liku yang sangat tajam. Begitu aku selalu berkata pada bayang yang selalu mengikuti kemana ku pergi. Entah mengapa dirinya selalu setia denganku padahal aku selalu mengabaikannya dan menyuruhnya untuk berada di belakangku bukan di sampingku.
Dengannya aku mengeluh gaduh, berceloteh tentang segala penat yang aku lalui hingga saat ini. Entah, walaupun aku bosan selalu dikuntit. Tetapi mau tak mau aku akui, dia adalah teman yang menyenangkan. Selalu ada untukku, mendengarkan segala keluh yang aku ungkapkan. Dan lebih menyenangkan lagi, dia adalah pendengar yang baik. Tak pernah menyela ketika aku bercerita. Yang pasti aku merasa senang, bisa menumpahkan gulana yang menyesakki dada.
Kadang aku heran kepadannya. Tak juga dia bosan menemaniku memandangi pekatnya malam, sembari mendengarkan kisahku yang ”itu-itu”. Yah, mengeluh tentang kehidupan. Tentang getirnya sebuah perjalanan. Menumpahkan tiap-tiap inchi langkah penuh duri yang selalu membekas dalam ingatan. Mungkin dia pun telah hafal akan roda kehidupan yang kujalani, bagaimana tidak, dia pun ada di dekatku saat itu tepatnya menguntit di belakangku. Tanpa aku ceritakan pun sepertinya dia telah tahu. Tapi dengan senyuman dan berteman diam dia masih saja mendengarkan, keluh yang sama dan berulang-ulang.
Itulah mengapa sore itu aku terkejut. Ketika mendengarnya menyela. Waktu itu aku sedang berceloteh bersama dengannya dibawah temaram matahari senja. Dia menyela ketika aku menyanyikan kembali lagu lama. Mengingat luka yang berkali aku kata telah terobati walau nyatanya malah semakin bernanah. Aku menatapnya, dalam hati aku berkata ” Apakah dirinya sudah bosan mendengar ceritaku?”. Tetapi jawabannya sewaktu itu benar-benar menyentakku.
”Aku iri denganmu,”
Aku memandangnya heran.
” Kau iri denganku? Bagaimana bisa? Hidupku hanya penuh dengan luka dan duri. Penuh dengan ranjau bahaya yang dapat menghancurkanku kapanpun dia mau. Bagaimana kamu bisa iri dengan orang yang mempunyai kaki penuh bekas luka duri? Apa yang kamu iri kan?”
“ Tidakkah kau sadari? Bahwa selama ini kau hafal setiap inchi langkah yang kau jalani. Ada lubang di sebelah mana, ada ranjau seperti apa. Bahkan kau pernah merasakan sakitnya tertusuk duri, merasakan sakitnya jatuh di lubang, merasakan kecemasan akan letak ranjau yang selalu mengintaimu. Kau punya cerita, kau punya warna dalam hidupmu. Hidupmu tidak berlalu dengan monoton. Hidupmu begitu indah. Sedangkan aku, aku hanya bayang-bayang yang mengikutimu dari belakang. Jalanku lurus tanpa rintangan. Bagaimana tidak, ketika engkau jatuh di lubang, aku tentu tak akan melewati lubangmu, tak akan pernah melalui duri yang melukaimu. Aku memilih jalan yang tanpa rintangan. Hingga kita sampai di tempat tujuan bersamaan. Kita sama, tetapi engkau lebih punya banyak cerita untuk dibagi, bahkan engkau mengingatnya di luar kepala, Sedangkan aku, yang ku tahu adalah jalan di depanku selalu lurus, tanpa kelokan dan rintangan. Selama ini aku diam bukan karena aku tak mau berbagi denganmu. Tetapi karena aku tak punya kesah untuk diceritakan, karena aku tak punya pengalaman yang menakjubkan. Hidupku lurus, hidupku terlalu sempurna. Semua berjalan seperti yang kuinginkan. Tak ada peristiwa yang membuatku terpuruk, terjatuh, bahkan bersedih.
Hidupku hambar, bahkan aku tak mampu mengingat setiap jengkal langkahku. Aku tak punya kenangan.” ujarnya menunduk sedih.
Aku memandanginya iba.
” Ya sudah, mulai sekarang berjalanlah di sampingku. Jangan berjalan di belakangku. Tetapi jangan pula kau mendahuluiku. Kita berjalan bersama, dan kamu akan merasakan apa yang aku rasa. Jangan bersedih lagi. Aku mengijinkanmu mencicipi kenangan yang kulalui, sedikit berbagi denganmu pasti lebih menyenangkan. Ada teman di tiap langkah perjalanan, lagipula pasti akan banyak kenangan yang bisa kita ciptakan berdua. Sudahlah, usap air matamu. Tresenyumlah karena senyummu akan memekarkan kuncup yang melayu.” ucapku menghiburnya.
Dia mengangguk lalu perlahan dirinya menghilang bersama tenggelamnya mentari di balik bebukitan. Walaupun dia tidak nampak, tetapi aku tahu. Dia masih ada di sini. Di dekatku.
=Rani Alzena=
Tidak ada komentar:
Posting Komentar