Langit abu-abu. Digelontorkannya separuh air yang terkandung penuh dalam perut buncitnya, perlahan tapi pasti ditumpahkannya gerimis hingga membumi, menyapa setiap kuncup yang berusaha membuka kelopaknya dengan segenap tenaga yang dia punya. Pagi ini memang tak seperti pagi sebelumnya. Tak ada semburat cahaya jingga yang berebutan di ufuk timur mega. Mereka pulas, terayun-ayun dalam buaian angin kehidupan.
Pukul 03.30. Beku masih terasa menusuk tulang-tulang kayu bambu yang berselimut gelugut coklat susu. Aku menggeliat, melemaskan penat yang bergelantung manja di sendi-sendi diri. Menghempaskan mereka tanpa ampun, terkapar dan tak kembali. Sadarku masih bersembunyi, dirinya enggan menampakkan batang hidungnya, kedinginan sepertinya. Kupaksa dia kukerjapkan mata melihat sekeliling dan kubuka jendela. Lagi, dingin itu membabat habis tubuh ringkihku hingga badanku bergetar tak karuan.
Masih terasa, sisa tangis semalam. Membekaskan sembab pada kelopak yang membengkak. Menguras habis cadangan air mata yang aku punya. Ah, hidup kenapa penuh derita. Tak bisakah sekali saja aku berdiri menatap mentari dengan riang hati? Tak bisakah sekali saja aku menikmati harumnya mawar tanpa harus tertusuk duri? Jika memang hanyalah ujian, kapankah kelulusan diumumkan? Nyatanya yang ada bukanlah bahagia, tetapi malah ujian yang lebih berat dari sebelumnya. Ah, hidup apa ni. Aku tak percaya lagi dengan kata-kata pujangga yang selalu berkata. ” Berakit-rakit dahulu berenang-renang ke tepian.” Yang ada hanyalah bersakit dahulu tak pernah senang kemudian. Aku mendesah, tak mau kalah dengan hembusan angin yang membuat dedaunan goyah.
Masih kutelanjangi pucuk-pucuk dedaunan yang mulai basah. Gerimis menderas, menggerus tuntas tunas yang dahaga akan siramannya. Dari kejauhan kudengan kokok ayam jantan yang bernyanyi riang. Aku heran, selama ini tak pernah sekalipun dia berhenti bernyanyi. Entah hujan, dingin, tak ada mentari, dia tetap bernyanyi. Aku heran, jangan-jangan dia mulai gila, hingga sudah mati rasa. Penasaran ini mulai menyergap, membuatku diam-diam menginipnya di balik kandangnya.
Mati aku. Rasanya malu ketika kudapati dia memergokiku yang sedang mengintipnya berndendang riang.
” Apa yang kau lakukan di samping kandangku, wahai anak muda? Kau tahu kan aku bukan ayam betina? Jadi tak ada sebutir telur pun yang bisa aku sumbangkan untukmu?” katanya kepadaku.
Aku terdiam. Lalu bertanya heran kepadanya.
“ Mengapa kau masih saja berdendang riang setiap paginya? Padahal aku tahu, istrimu sudah kusembelih dan kucampurkan pada opor makan malam keluargaku semalaman. Lagipula 3 ekor anak yang kau punya sudah mati terlindas truk tertangga kemarin lusa. Lalu, mengapa kau masih saja bernyanyi, berdendang dan mengucap selamat datang kepada mentari. Kau sudah gila ya? Apa ku perlu mencarikan dokter untukmu?” tanyaku tergesa.
Dia tertawa, terbahak sembari mengepakkan sayapnya. Jenggernya bergoyang-goyang dan ekornya melambai kesana kemari.
” Aku memang sedih wahai anak muda. Hati dan batinku memang nelangsa karenanya. Aku sendiri, sebatang kara tanpa teman di sisi. Anakku mati, begitu juga tak punya istri. Tetapi aku bisa berbuat apa? Aku bisa saja menyalahkan Tuhan yang membuat truk melindas anakku, atau saja menyalahkan Tuhan yang membuat keluargamu menyembelih istriku. Tetapi inilah hidup, garis kehidupan yang harus aku lalui. Itu mengapa aku memilih bernyanyi dan tertawa, karena setidaknya aku masih bisa membagi arti dan bahagia untuk teman-teman di sekelilingku. Justru karena mereka aku bahagia, justru dengan berkokok pagi-pagi aku bisa merasa berarti. Karena aku, kau tak telat bangun pagi, karena aku, mentari tahu kapan dia harus menampakkan diri. Kau tahu? Hal itulah yang membuatku masih mampu bertahan.” ujarnya sembari tersenyum memandangku.
Bibirku beku, lidahku kelu. Tak kusangka dia yang harusnya terluka masih bisa tertawa dan memberikan arti untuk orang-orang di sekelilingnya. Menebarkan bahagia dan senyuman pada kelopak-kelopak yang sedang dirundung kesedihan.
” Mengapa engkau harus menangis,nak. Sedangkan aku di sini tertawa. Kau harus bisa menjalani kehidupan yang telah Tuhan gariskan. Setiap orang telah ditentukan jalannya, jadi janganlah sekali-kali kau iri akan apa yang Dia beri pada orang lain. Setiap orang punya ujian kehidupan. Jadi, percayalah, Dia menyanyangimu, sangat.” ujarnya sembari tertawa lebar memandangku.
Aku mengangguk perlahan. Membalas senyumnya. Perlahan tapi pasti kucerna semua nasehatnya. Sesekali kubenarkan juga apa yang dikatakannya. Hingga akhirnya dalam hati aku berjanji. Tak akan pernah menyembelihnya suatu saat nanti. Akan kubiarkan dia berdendang setiap pagi, sebagai pengingat diri bahwa tak seharusnya aku menangis, sedangkan dirinya mampu tertawa.
=Rani ALzena=
Tidak ada komentar:
Posting Komentar