Jumat, 04 Februari 2011

KETIKA AWAN BERBAGI CATATAN

Awan tipis menggantung, terayun-ayun dalam dahan-dahan langit yang membiru. Arakannya semarak, menciptakan coretan tak beraturan dalam kanvas kehidupan. Indah, laksana buih-buih kapas yang berterbangan bebas, lepas, dan tak kenal batas. Sesekali mereka tersenyum, menyembulkan pelangi di sudut-sudutnya. Lega rasanya menumpahkan rinai hujan seharian, hingga akhirnya bisa terbebas dari muatan air yang menjadi beban.

Dia tersenyum sedikit mengejek kepada layang-layang yang putus asa karena tak mampu menggapainya. Diombang-ambingkan ke sana kemari oleh bayu yang tak tahu diri. Kadangkala ditengoknya gunung-gunung yang berlomba-lomba menghampirinya. Berdiri tegar dan tak tergoyahkan oleh badai-badai yang menghadang. Atau sesekali diliriknya sawah-sawah petani yang mulai kekuningan. Menghaturkan aroma gembira kepada pemiliknya karena sebentar lagi masa panen akan tiba. Tapi kali ini dirinya menggerutu, meratapi bahwa apa yang dilihatnya tidak seperti dulu.


” Ah, rasanya bosan aku memandangi mereka setiap kali. Selalu saja merka melakukan kebodohan. Dulu, aku masih sering melihat hutan-hutan berdiri kehijauan, tetapi sekarang. Mereka lebih suka mengikuti trend mode jaman sekarang. Membabat habis rambut mereka hingga gundul tak bersisa. Padahal aku benci melihat batang-batang gundul tak bertopi. Dan dulu, sungai-sungai itu masih berwarna biru. Memantulkan sinar gemerlapan tiap kali cahaya mentari datang menghujaminya. Tapi sekarang, keruh warnanya. Penuh dengan tanah dan sampah-sampah. Paling-paling yang berubah adalah gedung yang menjamur di sana-sini. Mengambil alih sawah dan tanah lapang tak bertuan. Sungguh pemandangan yang sangat membosankan, ” ujarnya.

Diselonjorkan tubuh tambunnya yang bergumpal-gumpal pada horizon yang kemerahan. Dirinya mulai terlelap perlahan dibelai semilir angin daratan yang berhembus ke lautan. Begitulah yang dia lakukan setiap harinya, hanya memandangi bumi dari singgasana empuknya. Dia sangat sensitif, seringkali ketika menonton film drama air matanya menetes habis tak bersisa, dan sebagai imbasnya banjir akan terjadi di mana-mana. Pun dia juga suka menonton bola, setiap teriakannya ketika ”GOL” tercipta akan menelorkan guntur yang maha dahsyat, bahkan kaca-kaca rumah di bumi pun ikut bergetar karenanya.

” Ah...benar-benar parah..” ucapnya suatu pagi ketika dirinya mengintip bumi dari balik terali besi kamarnya. Tampak di pandangannya hutan yang rata dengan tanah setelah dilalap si jago merah, rumah terendam air bah, dan orang-orang tertimbun longsoran tanah.

” Hidup apa ini,” dia mencaci. ” Kenapa pula mereka tak bisa menjaga diri dan lingkungannya sendiri. Ah, manusia memang makhluk  pembuat bencana.” cacinya lagi. Dirinya terbatuk. Akhir-akhir ini kesehatannya memang menurun. Maklum saja, usianya telah menua. Uban di rambutnya juga telah penuh di kepala.

Dan begitulah seterusnya. Yang dilihatnya setiap pagi adalah bumi yang semakin rusak. Manusia serakah yang tak tahu diri, mengorbankan harga diri dan kehormatan demi mencari sesuap nasi. Hingga tak lagi dia sanggup untuk menonton segala parade kerusakan di muka bumi.


Dihelanya nafas dalam-dalam. Hari ini adalah waktunya dia kontrol kesehatan. Setelah bertahun-tahun lamanya dia tak peduli akan kesehatannya. Ketika dia memeriksakan ke ahli mata, betapa kagetnya dia ketika sang ahli berkata.

” Mata Anda sudah berkurang ketajaman penglihatannya. Sudah tua, hingga pandangan Anda menjadi kabur. Cobalah Anda pakai kacamata yang saya beri. Gagangnya terbuat dari bahan husnudzon yang  tinggi, kacanya terbuat dari bahan yang enggan mencaci dan penuh introspeksi. Saya yakin setelah ini Anda akan merasakan perubahan yang berarti.”

Sang awan mengangguk. Awalnya dia terdiam ragu, tetapi dilakukan juga saran ahli mata yang memeriksanya. Dia kenakan kacamata itu. Dan dipandanginya sekitar, terang. Lalu ditengoknya kembali bumi yang menyiksanya beberapa hari ini. Ajaib, setiap jengkal tanah di atasnya, menyajikan keindahan yang tak terkira. Taman penuh bunga bermekaran, pohon-pohon hijau berambut gondrong kehijauan, sawah-sawah siap panen, dan sungai yang mengalir kebiruan. Dia tersenyum dan menyadari. Ternyata selama ini dia salah menilai. Tak ada salah dengan bumi yang dipandangnya, tetapi kesalahan itu ternyata ada di pandangannya dan cara dia memandangnya...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar