Hujan membumi, menyapa mesra kuncup-kuncup yang dahaga akan rinainya. Perlahan-lahan rintiknya yang halus berjatuhan, membasahi tanah kering kerontang tak bertuan. Disajikannya aroma tanah yang menyejukkan, seperti layaknya gelontoran es degan dikala kerongkokan tercekik oleh rasa haus yang melanda. Memang, beberapa hari ini mentari lebih dominan menguasai peradaban dengan sinar teriknya. Tak dipedulikannya dedaunan yang mulai gerah dan ulat-ulat yang bertengger di baliknya mulai tak betah. Tapi bagaimanapun juga, tidak ada yang istimewa dan berubah dari alam yang kutengoki setiap hari, atau lebih tepatnya aku tak peduli dengan perubahan itu.
Sekilas ku tatap anak-anak hujan yang berlari riang ketika menyentuh tanah. Menciptakan gemericik orkes yang perlahan mulai kunikmati alunannya. Yah, aku telah melupakannya. Bahkan untuk mendengarkan dendang gratisnya pun seringkali aku tak sudi, dan lebih memilih bergelut erat dengan selimut tebalku sepanjang hari. Masa bodoh dengan tawanya, toh tidak akan mengobati luka yang ada, malah sebaliknya hujan hanya mengingatkanku tentang kesedihan.
Dan sungguh, berulangkali aku harus menyumpah serapah. Ketika colekan manjanya menyentuh mantolku yang basah karenanya. Aku benar-benar tak suka, sedikitpun aku tak ingin berkawan dengannya. Bagaimana mungkin? Aku lebih memilih teronggok di pembaringan ketimbang harus berdamai dengan makhluk itu, makhluk menyebalkan bernama hujan.
Aku pun sebenarnya tidak mengerti kenapa aku begitu membencinya. Tetapi karenanya aku terlarut sekian lama akan kenangan-kenangan yang takkan terlupa. Yah, setiap memandanginya akan nampak di depanku, indahnya tawa bermain bola bersama kawan-kawan di bawah rintiknya, atau memancing di hilir sungai ketika hujan mengalir begitu derasnya, dan berjuta kenangan lain yang tergores bersama jatuhnya hujan. Macam apa itu? Bisakah kau bayangkan kenangan-kenangan itu terpaksa menyembul memenuhi rongga hatimu? Lalu apa yang akan kau lakukan? Mengulanginya kembali seperti dulu?
Bisa- bisa orang menganggap aku setengah gila ketika makhluk kepala dua seperti ku bergabung dengan parade anak-anak desaku berkecimpung dalam genangan hujan sembari tertawa lepas tanpa beban. Yah, begitu menyesakkan, ketika tak mampu kembali mengulang kenagan-kenangan indah yang terpatri di hati.
Sungguh, meskipun hujan masih saja setia mengetuk daun jendela kamarku, mendesesis mengiba mengajukan proposalnya maafnya kepadaku. Aku masih tak mampu, sekalipun untuk memandangnya. Biarlah dia terus berteriak di luaran sana. Sekali lagi, aku tak peduli.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar