Ujung daun bambu itu masih merunduk, menatap kosong tanah basah yang menggelut di ujung kaki batangnya. Sesekali dirinya menggeliat, menatap nanar dedaunan jati yang basah di sekitar. Yah, semalam embun telah memandikan mereka, mengupas tuntas daki dan menjadikan mereka tegak kembali.
Dirinya mendesah, sekali dua kali dirinya membiarkan tergoyang ke sana kemari. Menampilkan parade lemah gemulai tersenggol larian angin dengan arah yang tak pasti. Dia terpekur, dalam hening pagi yang kemerahan. Rambut hijau mudanya bergerak-gerak ke segala arah, dimainkan bayu yang suka berpolah. Tapi dia memilih diam.Tak terasa air matanya mengalir, mengelus lembut batang-batang kuning bergerigi di bawahnya, membangunkan mereka dari tidur yang sungguh lelapnya.
Mereka menggeliat, memandang ke atas meski silau mentari pagi menerpa mereka. Memaksa mereka memandang dengan mata yang sungguh sipitnya.
” Mengapa engkau menangis, nak? ” tanya sang batang tertua. Warnanya tak lagi berwarna hijau tua, tetapi sudah menguning kecoklatan.
Daun bambu muda itu menggeleng. Terdiam dan semakin terisak.
” Sudahlah, berhentilah menangis. Berceritalah, apa yang bisa kubantu. Kali-kali ada nasehat yang bisa kubagi denganmu.”
Daun muda itu memandang ke arah batang tua, ditatapnya lekat tanpa sisa.
” Aku sedang sedih. Aku merasa tak berguna dan tak berarti apa-apa. Bagaimana tidak, daun-daun yang telah berwarna hijau tua itu mencampakkanku. Mereka menganggapku anak kecil yang tak seharusnya tahu menahu. Mereka menganggapku pecundang, dan parahnya kali ini aku benar-benar merasa sebagai pecundang. Bagaimana tidak, tak seberapa banyak klorofil yang bisa aku sumbangkan untuk kalian, hanya beberapa bungkus kecil saja yang bisa aku setorkan. Dan mereka mengejekku, mereka bilang aku bukanlah makhluk berguna. Kau dengar kan?Ketika hembusan angin datang, seringkali aku dengar mereka berbisik bergesekan, membicarakanku. Menggunjingku dan mencaciku, terkadang juga mereka juga sengaja menempatkan aku di tempat ini. Di pucuk yang paling tertinggi, kau tau kan??Di sini angin sangat besar, sangat mengerikan menghadapinya. Dan mereka mencari aman saja, jika sekali dua kali sinar mentari tak sampai ke bumi, mereka mencaciku. Aku disangka terlalu menutupi cahyanya. Padahal kau tahu, lebarku pun tak seberapa. Ah..apapun yang aku lakukan, selalu salah, semua salah...”
Daun bambu itu terdiam. Pun begitu batang tua itu.
” Padahal dulu mereka pernah muda seperti ku kan sebelum mereka menjadi daun yang hijau ? Apa mereka banyak berguna? Lalu mengapa? Setelah mereka mempunyai banyak kemampuan dan ketrampilan mereka mencaciku ?menginjak-injakku??Apakah seperti ini dunia nyata wahai batang tua??”
Batang tua itu tersenyum. Digoyangkannya perlahan badannya yang bergerigi, sehingga menimbulkan goyangan lembut yang meninabobokkan sang daun muda.
” Anak muda, inilah dunia. Tak selamanya yang terjadi seperti apa yang kita pinta. Banyak sekali yang meminta dan baik hati ketika masih menjadi daun muda sepertimu, tetapi ketika sudah menjadi daun tua yang punya kuasa dan ilmu. Mereka lupa, mereka telah melupakan sejatinya bahwa mereka dahulu adalah juga daun muda. Mereka hanya bisa mencaci dan menyombongkan diri. Yah, inilah hidup dan inilah nyata. Hanya saja, jika aku boleh berpesan kepadamu. Jadikan ini pelajaran untuk hidupmu kelak. Jadilah daun tua yang berkuasa, tetapi tetap mau memandang tanah yang menghidupinya, tetap mau menengok daun muda yang berada di ujungnya, yang melindunginya dari teriknya mentari yang menghujam bumi. Tetap tersenyumlah meski dunia tak lagi ramah. Semakin engkau bisa mengambil arti semakin engkau bijaksana nanti. ” bambu tua itu berkata sembari mengelus jenggot panjangnya.
Daun muda itu terdiam. Dia tersenyum, ada secercah sinar yang menghangatkan hatinya. Mencairkan hatinya yang membeku pilu. Hangat, mengalir ke seluruh urat-urat hijau mudanya. Dia mengangguk dan sekali lagi tersenyum bergoyang gemulai dengan riangnya ketika sang bayu menyapanya.
”Suatu saat nanti, aku akan menjadi daun hijau tua yang baik hati dan tak lupa diri,” janjinya dalam diri dan dia ikatkan erat-erat dalam sudut hati.
=Rani Alzena=