Senin, 25 April 2011

BERIKAN SENYUM YANG TERSISA

Perempuan itu masih memandang nanar ke arahku. Hujan menderas dari kelopak matanya yang indah.
” Ya bagaimana lagi mbak, saya juga sudah pusing. Punya anak kok seperti ini..”
Aku memandang masygul perempuan kecil di sebelahnya. Kulihat dirinya tersenyum memamerkan deretan gigi ompongnya.
” Adek kelas berapa??” tanyaku sembari membelai rambutnya.
” Kelas 5 SD.” ucapnya sembari berrjalan kesana kemari. Sesekali dia meloncat naik turun di atas kursi periksa. Aku memandangnya sedikit iba, anak sebesar ini tapi belum mengerti etika atau memang tidak mengerti aku tak menggubrisnya.
” Memang aktif begini ya bu sejak kecil?” aku kembali memandang ibunya.
Ibunya menggeleng pasrah dan lemah. ” Tidak mbak, sejak kejang 8 bulan yang lalu dia jadi seperti ini. Prestasi belajarnya juga mulai menurun. Biasanya masih mendingan dapat nilai 7 atau 8 sekaran nilainya tak ada yang lebih dari 5. Oalah mbak, punya anak kok seperti ini. Sudah bodoh tambah bodoh pula..” ujarnya penuh penyesalan.

Aku tersentak mendengarnya, pun juga sepertinya gadis kecil itu tak menyangka ibunya berkata seperti itu.
” Ingin jadi apa dek kalau sudah besar?” tanyaku kepadanya. Pelan tapi pasti.
“ Aku pengen jadi guru kak..” ucapnya sangat bersemangat. Hatiku gerimis memandang kobaran asa yang terpancar dari mata beningnya.
” Kalau mau jadi guru adek harus rajin belajar ya...” ujarku sedikit menghibur.
” Iya mbak, kemaren sudah konsultasi ke psikologi anak. Kata dokternya anak saya harus sering-sering belajar meski sebentar-sebentar. ” sang ibu menyahut.


Aku tersenyum, kembali memandangi gadis kecil berkerudung hitam itu.
” Belajar mulai yang disenengi aja dik. Adik suka pelajaran apa?”
” Aku suka bahasa indonesia mbak. Aku seneng membaca, tapi suka kebablasan bacanya, kadang nggak ngeliat ada tanda titik atau koma.” katanya polos.

Aku terbahak dalam hati, tapi hanya mampu menunjukkan sesungging senyuman untukknya.
” Apa bisa mbak dia jadi guru. Orang sudah cacat seperti ini. Sudah gak normal otaknya.”
Aku mengehela nafas dalam. Epilepsi ternyata menimbulkan gangguan pada perkembangan  kecerdasan dan mentalnya. Tapi entah mengapa, ada rasa tidak tega mendengar sang ibu berkata seperti itu. Walau aku sendiri tak tahu bagaimana prognosis penyakitnya.

” Ibu tidak boleh berkata seperti itu” aku berkata sedikit keras. Sang ibu pun juga agak terkejut mendengarku yang berkata tak selirih biasanya.

” Sebagai ibu, ibu harus memberi dukungan pada adik. Ibu mungkin malu mempunyai anak seperti adik, cacat, tidak seperti anak kebanyakan. Ibu mungkin akan merasa begitu terbebani dengan semua itu. Tetapi pernahkah ibu berfikir? Bagaimana menjadi adik? Bertahan dengan segala kekurangannya, berimajinasi dengan mimpi-mimpinya, dan lebih malang lagi, dia seorang diri. Karena keluarga yang seharusnya mendukungnya, malah mencacinya, tak menerimanya. Lalu dia harus mengadu kemana?? Ibu harus kuat, ibu harus tegar. Kembalikan semua pada Allah, Dia yang memberi, Dia juga yang mampu mengobati. Ibu harus sabar. Ibu harus tabah,” aku berapi-api berkata kepadanya.

Kulihat hujan semakin deras, mengguyurkan buliran bening dari mata indahnya. Dia terisak. Kemudian merangkul lembut putri kecilnya.

” Terimakasih ya mbak...saya akan mencoba menerima semua musibah ini dengan lapang hati.”
Aku tersenyum, lagi-lagi hatiku gerimis, hanya mampu berucap dalam hati..Semoga Allah mengabulkan segala yang kau cita dan cinta yang kau ingini..:)



**Ketika anakmu tak seperti yang kau harapkan, tetap bersabarlah, berikan senyum yang tersisa kepada mereka. Karena seyumanmu akan menguatkannya, dan mengobarkan kembali impian yang hampir padam.

Surakarta, 16 April 2011
18.39
Catatan ke-111 semoga berguna...:))




Tidak ada komentar:

Posting Komentar