Rabu, 26 September 2012

GADO-GADO CINTA and BE STRONG INDONESIA

GADO-GADO CINTA

Gimana sih rasanya cinta? Manis, asem, pahit, legit tentunya. Banyak cerita banyak kisahnya, ada tawa, ada duka, dan juga ada luka.


Seperti gado-gado, cinta pun juga akhirnya nikmat terasa. Buku ini berisi cerita pendek yang saya tulis bersama teman-teman, based on true story. Lagi -lagi CINTA. Ya, begitulah cinta, deritanya tiada dua, tapi senangnya juga tak terkira. Hahahaha. Selamat membaca :).

BE STRONG INDONESIA

Buku ini aku tulis bersama teman-teman yang lainnya, tanpa komisi, dan tanpa bagi royalti. Penjualan dari buku ini full 100% disumbangkan untuk korban merapi. Berisi cerpen-cerpen dari berbagai penulis. Aku salah satu diantaranya.


ANTOLOGI " PATAH HATI"

Siapa bilang patah hati bikin mati? Kamu kali..hehehe.. Tapi ini memang benar-benar terjadi, banyak yang menjadi buta hanya karena putus cinta. Dunia seisinya menjadi gelap baginya. Padahal, masih ada keluarga, masih ada saudara, teman dan sahabat yang setia.


Penulis: Miftahul Jannah, Xanjeng Nura, Yunda Biru Langit, Erlinda Jilly Madhan, dkk,
ISBN: 978-602-225-264-1
Terbit: Februari 2012
Tebal: 334 halaman
Harga: Rp. 61.900,00



Buku ini membantu menusir kegalauan teman-teman, tak selamanya patah hati merusak diri. Bahkan kadang memberi manfaat jika disikapi dengan hebat. Tulisan-tulisan di dalamnya based on true story. Jadi kalian nggak akan bilang " ah, ngomong sih gampang" dan pelakunya sukses meng-healing patah hatinya, bahkan move-on dengan segera. Saya salah satu diantaranya, hehehe

Patah hati bikin kita mati? Benar adanya, kalo kita minum racun serangga..:)

KULEPASKAN KAU DARI HATIKU

Mencintai itu hanya ada dua pilihan " Memperjuangkan atau melepaskan". Nah, jika amunisi yang kita gunakan belum mencukupi, maka tak lain dan tak bukan maka pilihan tepat jatuh ke pilihan kedua.

Ya, cinta sejati itu tidak menyakiti. Cinta sejati intu ikhlas dan membahagiakan demi yang dikasihi. Kadang, kita memang harus tahu diri, seberapa jauh kita harus mencintai. Katanya cinta itu belum tentu memiliki tapi memiliki harus mencintai.

Buku ini ditulis keroyokan bersama  teman-teman. Berisi berbagai macam kisah, bagaimana kita melepaskan orang yang disayangi dengan sepenuh hati. Sayangnya buku ini hanya dapat dipesan melalui online karena tidak tembus offline. Silahkan membaca atau pinjam dari teman yang punya. Oh ya, di sana aku menggunakan nama pena " Rani Alzena".



 Judul : Kulepas Kau dari Hatiku
Penulis : Fitri Gita Cinta and friends
Tebal : xiii + 215 hlmISBN : 978-602-9079-38-8
Harga :44.700,-





SHE CALL HER " NDAN"

"Ndan"?Aku mengernyitkan dahi begitu membaca judulnya. Judul yang unik, dan baru pertama kali ini aku dengar. Dengan cover yang ceria aku mengira isinya adalah seputar cita-cita dan keinginan menggapainya. Atau malah cerita novel tentang bintang-bintang, karena di bawah judul itu ada sebait tulisan " Kerlip dan Pendar Bintangku".


Penasaran di buatnya aku segera membacanya. Sebuah buku dengan 153 halaman dan bercover menarik yang ditulis oleh sahabatku " Bintang Kirana"yang aku mengenalnya lewat pena dan sampai saat ini belum pernah bertemu dengannya.

Oke, halaman ix. Membuatku meneteskan air mata, haru sekaligus bangga. Yah, sahabatku ini adalah seorang dokter penderita SLE (Lupus), sebuah penyakit autoimun. Semua orang boleh punya alasan untuk menyerah, menyalahkan takdir, dan merutukki nasib. Tapi, sahabtku ini memang benar-benar luar biasa. Dia membuktikan kepada dunia, dirinya bisa, meskipun harus menjadi dokter tak berpasien seperti yang ditulisnya. Tapi dia mampu memberikan warna kepada dunia.

Kembali ke bukunya, buku ini bukan hanya sekedar kumpulan puisi dan liris, tetapi sebuah oase bagi jiwa-jiwa yang mulai kerontang, sebuah penyemangat ketika ingin berhenti berjuang. Dengan kata-kata yang digoreskannya dari jiwa, pun berhasil menyentuh jiwa pembacanya. Engkau seakan-akan berhadapan dengannya mendengarnya bercerita tentang kisahnya. Sungguh, luar biasa !!

" Ndan" ternyata itu adalah panggilan sayangnya kepada bundanya yang saat ini telah tenang di alam sana. Kerinduan akan bunda, rasa terimakasih yang teramat mendalam karena bundanya telah merawatnya. Sungguh kisah yang menawan dan mengharukan.

"Ingin kujenguk hatimu. Ada apa di sana? Tak ada rasa sesalkah atau kecewa kepadaku? Selama ini aku selalu membuatmu sedih dan letih, yang tak mungkin kubayar. Tapi, tak kutemukan setitik pun rasa itu di sana. Terbuat dari apa dirimu, hingga kau begitu cintanya kepadaku? Kau begitu agung untukku, Ndan"

Sebait puisi yang berjudul " MEMUJA" menjadi puisi favoritku. Dan lebih dari itu semua, dia mengingatkanku kepada seseorang, mama. Yah, tiba-tiba aku merindukannya. Jika dia memanggilnya " Ndan", aku memanggilnya " Mama".

Terimakasih "Ndan" , Terimakasih " Bintang Kirana"..:) 


MISKIN TAPI KAYA


Sore  berteman bayang-bayang. Sinar mentari yang mulai tenggelam di balik pegunungan hanya tersisa separuhnya , menelusup di antara hutan jati yang tumbuh menjulang. Kata orang, hutan jati identik dengan tempat kering dan gersang. Dan begitulah kenyataannya. Tanah-tanah di sekeliling berwarna kemerahan karena kurang siraman hujan, ditumbuhi batu-batu cadas yang cukup tajam. Lengkap dengan rumah penduduk yang hanya berdinding papan sudah cukup meneriakkan kemelaratan.  

Miris memang, pohon-pohon jati yang seharusnya bisa menjadi sumber pendapatan, tidak diketahui siapa yang menebang dan memanfaatkan. Rakyat di sekitarnya hanya tau, bagaimana mencari pakan untuk sapi-sapi yang kelaparan, juga untuk anaknya yang sekolah dan minta uang jajan atau istri yang ingi bedakan meski tak mandi sepagian. Orang bilang tanah kita tanah surga, tapi hasil bumi tak tahu entah kemana dan siapa yang menikmatinya.


Pemandangan yang sungguh mengenasan, ditambah lagi jalan-jalan aspal yang mulai berlubang. Menciptakan lautan debu yang kusam untuk dipandang. Ah, siapapun orangnya pasti dibuat bosan karenanya. Tetapi tunggu. Ada yang berbeda. Sebuah bangunan menjulang indah diantara rumah-rumah berndinding papan. Arsitekturnya modern, kokoh, menunjukkan karya seni yang maha dahsyat. Lantainya keramik indah, bersih, dan mewah.Aku memandangnya dengan terheran-heran. Bukan karena indahnya. Bangunan seperti ini sudah sering aku lihat di kotaku, bahkan lebih mewah dari ini, hanya memang dalam kemasan dan fungsi yang  berbeda. Selang beberapa jam terdengar teriakan keras dari bangunan itu. Matahari sudah tidak tampak lagi, sempurna tersembunyi di balik gunung yang menjulang tinggi. Semburat merah mulai merekah di ufuk barat, menggoreskan warna kuning jingga yang luar biasa indahnya.

Tak berapa lama, rombongan orang-orang bersarung dan bermukena  berbondong-bondong menuju bangunan itu. Suatu pemandangan yang begitu menentramkan. Yah, di desa seperti ini yang penuh akan hujan jati, diantara rumah-rumah berdinding papan. Masjid adalah bangunan yang paling menawan, tempat beradu kerinduan dengan Tuhan. Senja kali ini begitu indah, menghadirkan sebuah pelajaran berharga untukku. Meskipun miskin, tetapi desa ini kaya.

DEAR, PAGI


Dear Pagi,
Hari ini aku kembali menyambut mentari, mungkin sinarnya sama dengan hari-hari sebelumnya. Hangat dan menenangkan jiwa. Tetapi entah mengapa, pagi ini agak berbeda. Lebih indah di mata. Jika aku amati dengan seksama. Tak ada yang berubah darinya. Tetap malu-malu mengintip dari ufuk timur, perlahan menghalau embun, dan pada akhirnya meninggi tanpa ampun. Lalu apa? yang membuatnya berbeda.


Hari ini aku pun kembali memenuhi kedua paruku dengan udara pagi. Sama seperti sebelumnya masih dingin dan sejuk terasa. Tetapi pagi ini agak sedikit berbeda, kesejukannya mengalir mengelus dan menenangkan jiwa. Jika aku perhatikan tak ada yang berbeda, masih penuh dengan butir-butir embun yang turun semalaman. Lalu apa?mengapa berbeda?

Dear pagi.
Hari ini aku kembali dengan rutinitasku sehari-hari. Tak ada yang berbeda dengan sebelumnya, kalaupun ada hanya sebagian kecil saja. Tetapi kali ini sungguh berbeda, ada letupan-letupan dahsyat yang memenuhi jiwa. Lalu apa?mengapa tak sama?

Dan pagi, aku kembali untuk merajut mimpi. Masih sama dengan mimpi sebelumnya, tetapi kali ini lebih indah. Tak ada lagi keraguan dan ketakutan untuk melangkah. Inikah yang namanya hidup?wahai pagi?lalu apa yang terjadi selama ini? Mengapa kali ini tak serupa? Ada apa sebenarnya? Sungguh, aku terheran-heran pagi. Ada apa dengan hari ini. Kata orang tak ada yang berbeda, tetapi bagiku hari ini lebih indah terasa. Jawablah pagi, jangan kau diam saja seperti tak tahu apa-apa.

Dan kau pagi, malah tersenyum sembari berbisik kepadaku. " Semua tampak berbeda di hadapmu kawan. Karena hari ini kau mulai dengan semangat di hati. " ucapmu sembari pergi.

Ah, pagi..

SANG PIPIT BERJIWA ELANG ( A TRUE LOVE STORY)


” Setengah abad yang lalu aku menikah dengannya. Bukan karena hartanya, bukan juga karena rupanya yang terlalu sederhana. Tetapi aku percaya, dia yang bisa membuatku bahagia. Padahal pada masa itu, aku adalah bunga di desaku. Parasku cantik, mata lentik, dan kulit putih bersih warisan dari ibu. Sudah begitu, aku pun juga seorang anak lurah yang cukup berada. Banyak lelaki yang ingin memperistriku, dari teman sepermainanku hingga anak bangsawan raja tanah berhektar-hektar luasnya. Tetapi mungkin inilah yang namanya  jodoh, keyakinan itu tidak mampu dibeli, bahkan dengan harta berapapun.” ujar seorang wanita tua di depanku. Usianya kurang lebih 70 tahun, tetapi sisa kecantikannya masih tampak jelas. Hanya saja kali ini, keriput di wajahnya lebih mendominasi. Aku memandanginya, menunggunya melanjutkan cerita sembari menyeduh  secangkir teh yang dihidangkannya untukku. Hangat dan nikmat.

” Aku selalu percaya bahwa hati tidak bisa dibohongi. Aku pun meyakinkan orang tuaku bahwa dia yang terbaik untukku dan pada akhirnya kami bisa menikah juga. Awalnya aku merasa sangat bahagia, tetapi seiring berjalannya waktu, sifat aslinya terlihat jelas, tanpa tameng apapun. Dia sangat keras, egois dan pemarah. Kau tahu sendiri kan nak, pada jaman dahulu wanita memang dinilai rendah di mata pria. Dianggap sebagai pelayan yang harus menuruti maunya.”

Aku mengangguk, menyetujui pendapatnya. Memang begitulah budaya Jawa, di mana seorang istri sangat menghargai suami, bahkan saking nurutnya kadangkala istri pun tak diberi kesempatan untuk bicara. Yang jelas, istri itu harus nurut, membuat suami senang, sami’na wa ata’na, entah suami benar ataupun salah.

” Aku tidak pernah menuntutnya untuk menjadi kaya, makan pun seadanya. Apalagi perhiasan. Mungkin itu hanya impianku semata. Melihatnya mau bekerja meski sebagai kondektur dengan gaji yang tidak seberapa, itu sudah membuatku bersyukur tiada habisnya. Aku rela hidup berpisah dari orang tua, menempati rumah berdinding bambu sederhana bersamanya. Aku sangat mencintainya dan taat kepadanya. Setiap hari aku bangun pukul 3 pagi. Menyiapkan air hangat untuk mandi,aku takar agar tidak terlalu panas di kulitnya, kuletakkan handuk di ujung kamar mandi, kuoleskan odol pada sikatnya, kutempatkan sabun di tempat biasanya. Semuanya harus tertata dan siap sedia ketika dia bangun dari tidurnya. Pun juga baju dan celana yang telah kusetrika rapi, lengkap juga dengan masakan yang telah aku siapkan dengan penuh cinta. Meskipun kadang dia hanya mencicipi tiga sendok makan saja.”

” Ah, pasti bahagia sang suami, ya? “ Tanyaku sembari memandang takjub wanita tua di depanku itu.
Dia menggeleng.

” Tidak juga, sikap baikku itu diartikannya sebagai sikap yang seharusnya dilakukan seorang istri kepada suami. Sudah sepantasnya demikian. Seumur hidup tidak pernah aku dengar ucapan terimakasih dari mulutnya. Malah sebaliknya, kadangkala jika ada kesalahan sedikit saja, dia marah dan mencaci diriku. Pernah pada suatu malam, setelah aku menyiapkan makan malam, menyiapkan air hangat dan baju gantinya, aku menunggunya pulang kerja. Karena saking lelahnya, aku ketiduran dan tidak mendengarnya datang. Aku terbangun ketika mendengar bunyi barang di lempar, kulihat ke arah ruang makan sayur  dan lauk yang kumasak sudah berceceran di lantai tanah, beberapa barang juga sudah berbentuk tak karuan. Aku hanya diam, bersabar. Sebagaimanapun rasa sakitnya yang kuderita, aku sudah bertekad. Aku hanya ingin menikah sekali seumur hidupku dan akan kubaktikan sisa hidupku kepada suamiku..,” ujarnya tertahan sembari menghela nafas.


Aku terdiam, tak sanggup berkata apapun.

” Beberapa tahun kemudian, ketika anakku telah lima jumlahnya. Kami ditimpa musibah. Dia terkena penyakit wasir. Anehnya, penyakit ini tidak kunjung sembuh meski telah dioperasi sebanyak lima kali. Dari Rumah Sakit di Semarang, Jakarta, Solo, bahkan hingga pengobatan tradisional tidak mempan. Karena sakit, tentu saja dia tidak bisa bekerja. Dan mau tak mau aku yang menggantikannya. Pagi buta aku membuat kue yang kutitipkan ke toko kue di pusat kota. Setelah itu bekerja sebagai bagian tata usaha di SMA, sorenya aku menjadi juru rias manten atau kerja di salon. Malamnya aku menunggui suamiku hingga sebelum subuh tiba. Begitu kulakukan hingga suamiku sembuh setelah hampir 5 tahun lamanya keluar masuk rumah sakit. Kondisinya yang menjadi sakit-sakitan setelah keluar dari rumah sakit membuatku mau tak mau juga ikut bekerja selain juga mengurus keluarga seperti biasanya. Tidak ada yang berubah, hanya saja bertambah amanah. Alhamdulilah kelima anakku sekarang menjadi orang semua. Mampu mempunyai rumah sendiri, penghasilan yang cukup, itu sudah membuatku bahagia.”

” Subhanallah, luar biasa...” ujarku menahan air mata.

Aku ingin bertanya lebih banyak lagi kepadanya. Tetapi seorang laki-laki tua berambut putih keluar dengan terhuyung dari kamarnya ketika suara adzan  ashar terdengar.

“ Ti, ayo solat..” ujarnya. Wanita tua di depanku mengangguk. Dituntunnya lelaki tua itu menuju mushola.

” Allahuakbar..iftitah..bismillahirahmanirrahim..” kudengar sayup-sayup sang wanita tua itu menuntun lelaki tua yang ternyata sudah pikun untuk melafalkan bacaan dan gerakan sholat.

Aku merinding melihatnya. Yah, dirinya bagai seekor burung pipit yang berjiwa elang, jika suatu saat nanti dia harus terbang, kuharap surga yang menjadi tujuannya.

Blora, 3 September 2012

Guru dan Dokter : Minta Kenaikan Gaji?

Dokter dan Guru, minta kenaikkan gaji ??? Wajar saja!! Bukan karena saya adalah seorang calon dokter dan bukan karena saya anak dari seorang guru serta dibesarkan di keluarga guru saya berkata demikian. Tapi secara objektif saya ingin berkata, " dokter dan guru juga manusia". Seorang manusia yang berjuang demi kemanusiaan, sehingga pada diri mereka masih ada sisi manusiawi-nya, tapi ini dikarenakan mereka memang seorang manusia.


Okelah,saat ini banyak yang memandang profesi kemanusiaan ini telah terkotori, terbukti dengan beberapa guru dan dokter yang menuntut gaji. Helloo..katanya kemanusiaan kok ya ujung-ujungnya uang, begitulah kata mereka. Baiklah, inilah menurut sudut pandang saya yang saya tulis di status facebook. Dan ternyata banyak yang sependapat dengan saya..:

" Wajar, jika orang-orang yang bekerja di bidang jasa berdemo menuntut haknya. Guru, dokter, ataupun pekerja jasa yang lainnya seringkali tersandung dengan kata orang " katanya pahlawan tanpa tanda jasa, tapi kok gaji minta dinaikkan?" atau " katanya demi kesehatan, kemanusiaan, kok ujung-ujungnya minta uang?". Belive me, jika mereka hidup sendiri, hal tersebut tidak akan terjadi, masuk di dunia pen
didikan dan kesehatan demi kemanusiaan adalah sebuah pilihan. Tetapi kenyataannya mereka hidup dalam lingkungan yang bernama keluarga.

Mereka mungkin bisa saja, digaji seadanya, makan 2x sehari dengan lauk garam. Tapi, apakah mereka bisa, jika anak-anak mereka mengalami hal serupa bahkan harus putus sekolah karena tak punya biaya? Dulu, ketika gaji guru masih mengenaskan, orang tua saya harus banting tulang agar saya dan kakak saya masih bisa sekolah dan melanjutkan hingga kuliah. Dari les tambahan, hingga membuat "gandos rangin" yang disetorkan ke rumah makan. Belum lagi gali lubang tutup lubang.

Pernah saya bertanya, "ibu bapak tidak malu?" mereka menggeleng. " kenapa gak pensiun dini saja, terus buka toko kue" karena pada kenyataannya hasil penjualan kue lebih besar dari gaji bapak ibu sebulan. Mereka menggeleng " ibu bapak senang mengajar," kata mereka. Hmmm...#bukanembenarantapikenyataan 


Yah, benar. Kenyataannya memang demikian. Kita tidak hidup sendirian. Kita mungkin bisa bekerja full demi kemanusiaan. Tetapi siapa nanti yang memberi anak-anak makan?dan semakin tragis jika mereka nanti harus putus sekolah. 

Ah, tapi kan dokter itu kaya-kaya? Kata siapa? Seorang dokter yang jujur penghasilan perbulannya jauh dibawah para pengusaha. Kalopun kaya itu "mungkin" dari turunan bapaknya, atau mungkin telah menjadi dokter ternama berpuluh-puluh tahun lamanya, hingga rambut di kepalanya putih semua.Begitu juga dengan guru, seperti yang saya ceritakan di atas. Orang tua saya harus banting tulang, diluar kerja sebagai guru agar saya tetap bisa "survive" untuk hidup dan melanjutkan kuliah.

Jadi, saya memaklumi ketika para guru, dan para dokter meminta kenaikan gaji. Karena saya pernah mengalami berada di posisi mereka, mengalami di keadaan mereka, Dan bagaimana dilemanya. Guru dan dokter, juga manusia..:)