Selasa, 17 Desember 2013

Kisah Tentang Gigi (Part 1) -Senyum Setengah Hati-



“Lebih baik sakit hati, daripada sakit di gigi….” :D

Plesetan lagu dangdut yang entah lupa siapa penyanyinya, cocok banget jadi backsound cerita kali ini.  Of course bagaimana tidak. Orang sakit hati  paling-paling cuma nangis bombay , sambil nunggu waktu dan yakin bahwa time will heal every pain. Tapi sakit gigi? Oh, nyerinya sungguh menyayat hati, makan tak enak tidur tak nyenyak, emosi labil, apalagi jika tidak  periksa ke dokter gigi? Benar-benar menyiksa diri.

Berawal dari nyeri denyutan yang saya rasakan beberapa bulan lalu, tepatnya di bagian kanan bawah. Nyeri yang hilang timbul itu tidak saya gubris dan enggan saya periksakan ke dokter gigi. Maklum, cukup punya fobia masa kecil sama dokter gigi :D. Tapi ternyata, Allah punya rencana lain. Bulan ini, nyeri berdenyut semakin sering terasa, menjalar hingga ke telinga dan mata. Kalau menurut anatominya, tepatnya di nervus V ( trigeminalis). 

Saya yang pada awalnya tidak terlalu suka mengkonsumsi obat, harus terpaksa mengkonsumsi anti nyeri. Tapi dalam waktu 3 hari, nyerinya tidak berkurang, malah semakin menghebat dan mampu membuat saya nangis bombay

Baiklah, akhirnya mau tak mau saya harus ke dokter gigi. Gerimis yang mengguyur langkah sore itu tak terasa dibandingkan dengan sakit gigi yang harus dirasa. Pergilah saya ke dokter gigi yang dulu semasa koas adalah guru saya. Setelah mengantri sejenak dan diperiksa, saya disarankan untuk foto Panoramic.

Yup, foto untuk mengetahui letak, susunan, dan kemungkinan ada kelainan pada gigi.  Setelah melalui serangkaian proses foto rontgen, akhirnya hasil foto panoramic ada ditangan saya. Dan, ternyata, penyebab dari nyeri hebat beberapa bulan ini adalah adanya gigi molar 3 atau biasa disebut gigi bungsu yang tertanam di rahang kanan bawah atau lebih sering disebut dengan impaksi.

Setelah berkonsultasi dengan dokter gigi, saya dirujuk ke dokter spesialis bedah mulut dan direncanakan untuk operasi minor atau sering dikenal dengan istilah odontektomi keesokan harinya. Okelah, segera, cito, semakin cepat semakin baik. Meskipun terbayang lagi fobia bor dan alat pencabut gigi lainnya.

Jadwal operasi pun ditetapkan. Sebelumnya saya ditanya lebih dahulu, apa sudah makan, keadaan fit, apa punya penyakit sistemik atau tidak. Setelah dicek tekanan darah dan dirasa ok, dimulailah proses odontektomi dalam ruangan operasi minor itu.
http://1.bp.blogspot.com/-1pJ_hqnBKpY/TwPlpEQ1a_I/AAAAAAAABTE/ZrVlB-qVvxc/s1600/gigi+ladybird.jpg

Lokal anastesi dimulai, gusi dan beberapa bagian di daerah bukal( pipi ) saya ditusuk-tusuk dengan spuit berisi lidokain. Cukup nyeri, tetapi saya tetap bertahan. Sempat terlintas novel “ Dahlan Iskan” yang berjudul “ Ganti Hati”. Di situ beliau bercerita bagaimana ketahanan dan kesabaran beliau menghadapi rasa nyeri agar segera sembuh. Dan perlahan saya menciptakan sugesti. Taka apa, ini hanya sebentar saja. :D

Sang dokter spesialis bedah mulut mulai melakukan aksinya ketika dirasa saya sudah tidak berespon pada sentuhan dan tusukan. Mulai diincisi lah gusi saya, dan dibor tulang mandibula, dan sebagian gigi dipotong karena ada perlekatan dengan gigi di depannya. Sesekali saya meringis karena masih bisa merasakan nyeri, yang membuat sang dokter berhenti sejenak meskipun melanjutkan kembali operasi hingga tuntas. Never give up, mungkin itu yang diucapkan dalam hati beliau. :D

Setengah jam berlalu, akhirnya sang gigi molar 3 berhasil juga terlepas dari peraduannya. Sang dokter membersihkan fragmen atau pecahan tulang, mengirigasinya, kemudian menjahitnya. Ah, legaaa… Tetapi, tunggu. setelah beres dengan urusan gigi molar kanan, ternyata ada lagi urusan dengan gigi geraham/molar kiri.

Gigi geraham 1 kiri bawah yang gagal pencabutan hingga hanya menyisakan akar itu pun akhirnya harus ikut dicabut. “ Sekalian sakitnya” begitu kata sang dokter. What?? Baiklah kalo begitu, akhirnya dengan pasrah saya menyerahkan akar(radix) gigi geraham saya itu. Sedih juga harus berpisah dengannya, hehehe..lebaay.

Pencabutan radix dengan separasi (pemisahan gigi) ini berlangsung cukup singkat dan tidak sesukar pengambilan gigi yang impaksi. Setelah dibersihkan gusi dijahit, dipasang tampon, dan saya diperbolehkan pulang dengan buah tangan resep dari dokter.

Malamnya pipi saya bengkak, darah mengalir terus menerus, dan yang menyiksa adalah untuk sekedar minum air putih apalagi makan pun sakitnya tidak terkira. Karena tidak tahan menahan dahaga akhirnya saya meminta tolong  suami membelikan “ sedotan” dan sereal agar perut yang keroncongan dari tadi sedikiti terisi. Nyeri telan dan sukar tidur pun menjadi sajian yang harus saya nikmati. Lagi-lagi saya teringat tentang semangat sang Dahlan Iskan mengatasi nyeri setelah operasi.
Hari kedua, gusi saya masih mengeluarkan perdarahan, meskipun  sudah banyak berkurang. Setidaknya saya sudah dapat makan bubur. Dan yang paling menyedihkan, di kondisi seperti ini saya nyidam pengen makan “kacang telur”. :D:D. Begitulah, hari demi hari saya lalui dengan meminum antibiotic selama 3 hari, antiinflamasi dan analgetik untuk mengurangi pembengkakan dan rasa nyeri. Obat kumur pun saya gunakan agar tidak ada bakteri-bakteri di sudut mulut karena pencapaian sikat gigi tidak sesempurna biasanya.

Dua minggu terlalui, nyeri sudah mulai berkurang. Analgetik tidak saya minum rutin lagi, tetapi hanya jika diperlukan. Tetapi, sebuah tragedi terjadi. Rasa nyeri hebat, bahkan melebihi rasa nyeri sebelum operasi datang lagi. Analgetik tingkat rendah sudah tidak mempan lagi. Rasa terbakar dan nyeri menjalar di rahang bawah ke telinga , mata, hingga kepala. Dan parahnya rasa nyeri itu muncul di sore hingga malam hari di saat istirahat atau saat pagi ketika akan masuk kantor. Analgetik dengan sedasi pun mulai saya konsumsi dan sedikit berkurang nyerinya meskipun hanya sementara.  Berbagai fikiran dan self diagnosis pun mulai menghantui. Apakah neuralgia trigeminalis? Terjadi neuropraxia yang membutuhkan mikrosurgeri? Apakah ada infeksi, dry socket? Haruskah jahitan dibuka lagi? Dioperasi dan dibor lagi? Dan berbagai macam kemungkinan membayang di kepala saya. Kadang saya tersenyum,mungkin seperti inilah yang dialami oleh pasien, orang yang sakit. Penasaran dengan sakit yang dideritanya. Tapi tentu saja hanya sesekali saya tersenyum, karena nyeri berdenyut dan rasa terbakar membuat saya lebih memilih diam dan hanya berbicara sesekali dengan suami. Sering kali suami menggoda, bahwa akhir-akhir ini senyum saya adalah :senyum setengah hati”. Walah.. :D

Belum lagi, seringkali saya ditertawakan oleh saudara, teman, atau keluarga “ alah, dulu saya cabut gigi 6 saja tidak apa-apa. Kamu cuma cabut satu gigi saja kok kaya orang habis melahirkan”. Lagi, saya cuma senyum setengah hati, sambil membayangkan gimana ya nyeri setelah melahirkan karena memang belum berpengalaman merasakan sendiri.

Tetapi pada akhirnya saya pasrah. Jika memang harus dilakukan tindakan agar saya dapat sembuh, insya allah akan jalani. Saya mulai menyusun lagi jadwal untuk kontrol ke dokter gigi. Bersiap dengan kondisi terburuk dan berharap pada kondisi terbaik. Lagi, saya mencatut doa Dahlan Iskan yang berupa kepasrahan ketika dirinya dioperasi. Tuhan, terserah Engkau sajalah….. (Bersambung)