Kamis, 19 April 2012

Antara Emansipasi dan Wanita Sejati

Ngomong-ngomong tentang april, apalagi mendekati tanggal 21, pasti nyangkutnya ke emansipasi, yang sebenarnya malah mirip ke feminisme. Yup, sikap yang diagung-agungkan para wanita ini menjamur di era modern sekarang ini. Menurut saya nih sebagai wanita, tak ada yang salah dengan emansipasi, setidaknya para wanita bisa mempunyai kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan dan memperoleh pengetahuan, hanya saja pada praktek dan realitanya saat ini terlalu " kebablasan".

Pada nyatanya, emansipasi malah menjadi tameng para wanita untuk berbuat seenaknya. Gimana enggak? Pergeseran norma yang entah dari mana awalnya membuat kebiasaan para wanita menjadi berubah dan itu sah-sah aja. Contohnya ni ya, wanita nggak bisa masak itu biasa, wanita males nyuci dan lebih milih nglaundri itu gak masalah, atau wanita yang gak bisa ngejahit padahal cuma ngejahit kancing baju sendiri, orang bilang no problem. Dan parahnya saat ini masyarakat menganggap wanita yang hebat itu sama seperti lelaki yang hebat, karir sukses, kerjaan beres, cerdas, pintar, brilian, so wow..

Parahnya lagi gerakan emansipasi ini gak ada lawannya, Belum ada tuh gerakan gentleisme atau priaisme yang menuntut hak-hak nya. Para pria tetap saja terkena getahnya. Kalo wanita gak bisa masak, akhirnya beli makan diluar,males nyuci akhirnya nglaundri,  ujung-ujungnya keluar duit, dan masyarakat masih aja nganggep yang wajib nanggung kebutuhan adalah para lelaki. Mereka masih saja harus menjalankan anggapan-anggapan masyarakat bahwa lelaki harus bertanggung jawab dan menjadi tulang punggung keluarga, sedangkan wanita karir, bekerja, dan jarang bersama keluarga dianggap sah-sah saja. Bahkan kadang dianggap sebagai pejuang  yang rela berkorban, mengorbankan kepentingan keluarga dan dirinya demi nusa dan bangsa. Padahal apapun pekerjaannya, karier terbaik seorang wanita adalah menjadi ibu rumah tangga.


Emansipasi pun membuat posisi pria menjadi semakin tidak berdaya. Menjadi tersudut dan terpaksa harus nurut. Banyak para istri yang suka membangkang, melawan, tetapi dicubit sedikit langsung koar-koar suaminya melakukan kekerasan. Otomatis saja tingkat perceraian di Indonesia menjadi luar biasa, istri selalu ngomel-ngomel, minta jatah bulanan, tapi membuatkan segelas teh hangat saja enggan. Suami jengah, dan akhirnya memilih untuk berpisah.


Coba saja kita tengok 50 tahun yang lalu, dimana tingkat  kelanggengan pasangan masih tinggi. Saat itu, para wanita dan pria berperan sebagaimana mestinya. Mereka menyadari benar, bahwa wanita dan pria diciptakan berbeda bukan berarti salah satu lebih tinggi, tetapi sudah menjadi kodratnya wanita itu adalah makhluk yang dipimpin dan pria adalah makhluk yang memimpin. Dan mereka menyadari secara penuh, mau dipimpin, dan nurut itu bukan menunjukkan tanda kelemahan bagi wanita. Tetapi memang pada kenyataannya para pria dianugerahi logika yang lebih dibandingkan wanita, sehingga bisa mengambil keputusan tidak hanya sesaat tetapi juga untuk jangka panjang. Walaupun pada kenyataannya, tidak semua pria bisa bersikap demikian, tetapi mereka hanya perlu waktu untuk mencapai suatu titik kedewasaan untuk mengambil suatu keputusan.

Kembali kepada emansipasi, banyak yang tetap setuju bahwa emansipasi itu perlu. Berdalih dengan alasan wanita itu harus kuat, tidak boleh cengeng, rewel dan tidak boleh lemah. Oke, fine, itu benar. Tetapi sayangnya para wanita saat ini mengartikannya dengan salah.

"Tegar itu adalah ketika kau masih bisa bersyukur, ketika suamimu hanya mampu membelikan daster yang tak seberapa harganya, tidak lemah itu ketika kau masih bisa tersenyum meski harus menahan sakit melahirkan anakmu yang pertama dengan persalinan normal, tidak cengeng itu ketika kau masih saja bertahan dan setia meskipun suamimu berada di seberang lautan sana mencari kerja. "

Tegar dan kuat bagi wanita itu lebih dari sekedar dia mampu mandiri mencari nafkah untuk dirinya dan keluarga, tetapi lebih kepada tegar dalam menghadapi kehidupan, mengurus keluarga, dan menerima kodratnya.

Memang bukan hal yang mudah untuk tetap tegar bersikap sesuai kodrat sementara saat ini masyarakat berpendapat sebaliknya. Tetapi percayalah wanita, jika ingin menjadi keluarga yang langgeng dan sejahtera, jadilah wanita yang kuat tanpa harus melupakan kodrat. Biarkan semua berjalan sesuai hukum alam. Say no to feminisme, say yes to naturalisme..


*Pesan untuk diriku sendiri..:p
Berdasarkan berbagai pengamatan..
Surakarta, 19 April 2012


Tidak ada komentar:

Posting Komentar