Sabtu, 02 Juli 2011

OBROLAN MALAM DAN HUJAN

Malam senyap tanpa sedikitpun gemintang yang bertaburan. Terduduk sepi tanpa bulan yang menemani. Wajahnya murung, kelabu, dan mendung. Sesekali ditatapnya pepeohonan yang beradu ditiup sang bayu, melenggak lenggok ke sana kemari sesuka hati.

” Mengapa pilu wahai malam? Tersenyumlah agar wajahmu lebih indah..” gerimis menyapa. Muncul dari sela-sela jubah yang penuh jelaga.

Sang malam terdiam. Tanpa kata. Dirinya bimbang. Ingin rasanya dia berbagi cerita, tetapi ragu menyelimutinya.
“ Aku bingung kawan..” akhirnya dia menyerah.
” Adakah yang ingin kau bagi denganku, kawan?” tanya gerimis. Titik-titiknya mulai membumi, membasahi tanah gersang yang hampir meranggas.

” Aku sedang kebingungan kawan. Sebenarnya aku ingin mulai membuka usaha. Aku ingin berjualan di pinggir mega, sekedar menjajakan jajanan untuk para awan, jus segar untuk mentari di siang hari, atau teh hangat untuk para bintang ketika mereka berkumpul untuk saling bercengkrama dan membagi tawa.”


” Lalu, apa yang kau bingungkan?”
” Bukan hanya kebingungan, ketakutan lebih tepatnya. Beberapa tahun yang lalu, kakakku juga pernah menjalani usaha serupa. Tetapi hasilnya, tak seperti yang diahrapkan. Bukannya modal yang kembali, bukannya laba yang di dapat. Tetap malah rugi.”

Sang gerimis terbahak, tawanya menggelegar berkilatan memecah langit malam. Sang malam mengernyit keherenan.

” Apa yang kau tertawakan kawan?” tanyanya.

” Aku menertawakan kepesimisanmu wahai malam. Aku pikir wajahmu yang garang seteguh hatimu, tetapi dibalik itu ternyata tersembunyi kerapuhan jiwamu. Wahai kawan, tahukah kamu? Bahwa Allah Maha Pemberi rezeki? Dia dapat menurunkan rezeki kepada siapa saja, usaha yang sama belum tentu berakhir dengan hasil yang sama. Semua tergantung kepadaNya. Coba kau tengok sekali saja, pernah Allah memberikan musibah yang sama. Gempa misalnya, Tetapi Dia memperlakukan umatNya dengan keadaan berbeda-beda. Ada yang selamat dan sehat wal’afiat, ada yang kehilangan harta benda. Ada yang meninggal dunia, dan ada yang cacat serta luka-luka. Dan kau tahu malam, apa yang membedakannya? Takdir..yah, takdir orang tidaklah sama. Takdir orang berbeda-beda.”

” Lalu menurutmu aku harus bagaimana wahai gerimis?”

”” Jadilah dirimu sendiri kawan, jadilah seperti apa yang kau mau. Raihlah mimpi dan cita-cita seperti yang selalu kau rindu. Jangan dengarkan kata orang yang menciutkan hatimu, tetapi dengarkanlah kata mereka yang menasehatimu untuk membuatmu lebih baik. Kau harus kuat kawan, kau harus tegar. Karena kamu adalah kamu, bukan aku, ataupun mereka.”

Sang malam tertunduk. Dirinya terpekur dalam renungan yang dalam. Menyelami setiap kata yang diucapkan oleh gerimis yang mulai menjadi hujan. Menderas keras, beradu dalam rintik yang mulai berjatuhan.

Kartasura, 16 Mei 2011
22.36
* ) Spesial thanks for Ayu Santika Santaningrum..Karena saya adalah saya, bukan anda, dan juga bukan mereka..:D




CATATAN LANGIT

Langit sekarat. Dalam diam dia menangis meratap. Berteman mendung yang memandanginya tanpa kata. Tatapannya nanar, tanpa binar. Wajahnya lesu penuh raut pilu. Menunduk takluk akan setiap jengkal takdir yang ditetapkan. Tangisnya membumi, bercampur isakan gelegar yang sungguh menyayat hati.

Berulangkali ditepisnya awan-awan yang bergelantungan, mencoba menghibur dengan sejuta gurauan. Hatinya beku, mengeras menjadi kerak-kerak yang membatu. Ada kegundahan yang membuncah, menyusupi setiap relung hatinya. Mengoyak paksa sudut-sudut jiwa.

Dirinya terpaku, kali ini membisu. Ingin rasanya dia melepaskan dari belenggu. Tapi dirinya bingung, linglung. Dari mana dan bagaimana dia membagi tanya. Ada rasa sesak yang menyeruak. Ada rasa bimbang yang menyerang, ada rasa takut yang bergelut, ada rasa bersalah yang semakin berdarah-darah. Semua bergumul menjadi satu dalam wadah kegalauan yang membuat pilu. Andai mampu mengulang waktu, andai mampu menghapus detik yang berlalu. Ingin dirinya mengubah masa lalu. Berdiri tegak tanpa belenggu.

 Langit semakin terduduk lesu, jiwanya menggeliat hebat. Ingin rasanya dia menyapa gunung di kakinya sekedar ingin berbagi apa yang dia rasa. Tetapi dirinya tak mampu,  lebih memilih diam dan bisu. Dirinya terpekur, mencoba untuk mengumpulkan syukur. Bersimpuh luruh dalam peluh. Menengadah kepada angkasa dalam setangkup doa, penuh harap dia meminta, Tuhan mendengar apa yang dia kata.

Surakarta, 26 Mei 2011
19.40 WIB

BALADA ANAK KOS

Mataku menunduk lesu,perut pun mulai bernyanyi pilu. Bagaimana tidak, dari pagi tadi belum terisi barang sesuap nasi. Aku menghela nafas dalam-dalam, ini hari ke dua puluh delapan. Masih 4 hari lagi bertahan di bulan yang sama, sedangkan uang di genggaman sudah tak ada. Air minum  pun tak bersisa melengkapi dahaga yang seharian menghinggapi kerongkongan.

Kugaruk kepalaku yang tak gatal, bagaimana ini. Akan makan apa aku malam nanti, esok pagi, dan 4 hari ke depannya? Kuputar otak, kuobrak-abrik uang tabungan, alhamdulilah masih ada beberapa receh uang lima ratusan. Kuhitung keping demi kepingnya, 5 ribu. Cukuplah untuk makan nasi kucing plus segelas es teh malam ini.

Segera kulangkahkan kaki, memberikan hak kepada perut yang sejak pagi tadi berdemonstrasi. Alhamdulilah, masih bisa makan untuk malam ini. Aku kembali memandang gemintang, berfikir keras bagaimana besok bisa mendapatkan uang. Untuk sekedar makan siang. Aku terdiam, berteman malam kulantukan sebait doa. Tuhan, Kau Maha Segalanya. Tak akan Kau biarkan diriku dalam kesusahan, begitulah segenap hati ini meminta. Kuputar otak begitu kerasnya, apa yang bisa kulakukan sekedar untuk mengumpulkan recehan, upah translatean jurnal mungkin baru akan kuterima dua tiga hari lagi. Lalu bagaiaman ini?

Aku memejamkan mata, tak tahu bagaimana hidupku esok harinya. Dan selang lima belas menit kemudian, sesuatu melegakan hatiku

” Tok..tok..”pintu kamarku diketuk. Kulongokkan kepala, ada kakak sepupuku di sana.
” Ini ada kiriman sangu dari budhe.” ujarnya sembari mengulurkan 2 lembar uang lima puluh ribu.”
” Alhamdulillah..” aku mengucap syukur yang tak terkira. Segera kuterima uang tersebut dan kuucapkan terimakasih kepada budhe lewat sms.

Dan tanpa dinyana-nyana, satu jam kemudian. Sebuah sms masuk, dari mama.
” Mbak, nomer rekeningnya berapa?”
Segera kubalas pesan dari mama. Kukirimkan beberapa digit angka yang sarat makna.
” Udah ditransfer mama 100 ribu, ” begitu jawaban selanjutnya.

Entah, hati ini menjadi gundah, bukan karena bimbang, tapi tak tahu harus bagaimana mengucap senang. Sujud syukur kuhaturkan kepada Allah, begitu banyak detil peristiwa yang dimudahkan olehNya. Yah, minggu ini aku benar-benar merasakannya, bahkan ketika aku menghadapi ujian coass, Dia juga memberiku banyak kemudahan.

Aku tersenyum, menatap kembali malam yang semakin temaram.  Kejadian demi kejadian ini, membuatku semakin tegak untuk berjalan. Seberat apapun rintangan, insya Allah pasti ada jalan...:). Karena Allah selalu di sisi, karena Allah tak kan pernah membiarkan kita sendiri.

Surakarta, 29 Mei 2011
*Saat bisa kembali tersenyum..:)

HANYA UNTUK HARI INI

Tahukah kawan, harta yang nilainya tiada terkira?Bukan emas, bukan pula permata, tetapi kesempatan masih hidup hari ini, masih bisa menikmati dan menghirup udara pagi, berkawan dengan segala kebisingan kendaraan dan berjuta kesibukan adalah harta yang tak tergantikan. Tak ada salahnya sesekali kita memberikan hadiah kepada hari ini, dengan segenap ucapan dan perbuatan setulus hati. Hanya dengan 10 kata yang mampu membuatnya bahagia.

Hanya untuk hari ini aku akan merasa bahagia. Karena kebahagiaan ada di dalam diri, bukan dari apa yang terjadi di luar hati.

Hanya untuk hari ini aku akan berusaha menyesuaikan diri terhadap realita yang terjadi dan tidak berusaha menyesuaikan segala sesuatu seperti apa yang kuingini. Akan kucoba menerima keluargaku, usahaku, dan keberuntunganku seperti saat mereka datang kepadaku dan mulai brusaha menyesuaikan diri dengan mereka.

Hanya untuk hari ini aku merawat tubuhku. Melatihnya, menyayanginya, mengurusnya, tidak menyakiti maupun menolaknya, hingga nantinya mampu menjadi mesin yang sempurna untuk mengerjakan apa yang kupinta.

Hanya untuk hari ini aku akan menggunakan fikiranku, Mempelajari sesuatu yang berguna dan tak kan menjadi seseorang yang bermental lemah.

Hanya untuk hari ini aku melatih jiwaku dengan berbuat baik kepada seseorang tanpa diketahui siapapun.

Hanya untuk hari ini aku merasa sependapat. Tampil sebaik mungkin dan berpakaian sepantas mungkin, berbicara dan bersikap penuh kelembutan, berlaku pemurah dengan pujian, tak akan mengkritik sama sekali, atau mencoba mencari kesalahan orang lain. Dan tak akan mencoba mengatur atau memperbaiki siapapun.

Hanya untuk hari ini aku mencoba untuk hidup dan melewati hari ini saja, tak akan berusaha menanggung semua permasalahan hidup seluruhnya.

Hanya untuk hari ini aku akan memiliki sebuah program. Akan kutuliskan apa yang akan kulakukan setiap jam. Mungkin kenyataannya aku tak akan mengikutinya dengan tepat, tapi setidaknya aku memilikinya. Hingga nantinya penyakit ketergesa-gesaan dan salah dalam mengambil keputusan akan berlalu begitu saja.

Hanya untuk hari ini aku menyisihkan waktu setengah jam saja untuk menenangkan diri. Melepaskan penat dan beban yang telah bergelantungan seharian.

 Hanya untuk hari ini aku tak akan merasa takut. Apalagi merasa takut untuk tak bahagia. Akan kucoba menikmati apa yang indah, untuk mencintai dan untuk percaya bahwa mereka yang ku cintai juga mencintaiku.

Dan hanya untuk hari ini, akan kuucapkan dan sekuat tenaga kulakukan setiap hari. Karena sekali lagi, hari ini adalah harta yang tak terbeli, karena kehadirannya tak kan datang dua kali..

Surakarta, 6 Juni 2011
21.10

JANGAN BIARKAN JAMUR SEMAKIN MENJAMUR

Siang berteman mentari yang begitu teriknya. Begitu juga suasana di poli kulit kelamin di mana aku berada. Tak ada satupun AC, hanya semilir angin dari sela-sela jendela yang sedikit menyejukkan suasana. Bapak tua yang duduk di depanku masih belum bisa diam. Tangannya masih saja menggaruk-garuk bagian lehernya yang kemerahan. Semakin keras digaruk, semakin nikmat terasa , begitu katanya.

Kusapa bapak itu sembari melemparkan sebuah senyuman. Kardi, begitu beliau menyebut namanya. Kutanyakan keluhan apa yang dia rasakan, dan selanjutnya kubiarkan bapak itu bercerita sendiri panjang lebar mengenai sakitnya. Pak Kardi mengeluhkan gatal sejak 1 minggu yang lalu di bagian lehernya terutama saat berkeringat dan semakin lama semakin meluas. Sudah diobati tetapi tidak sembuh dan malah semakin bertambah.

Aku mengernyitkan dahi, ketika kutanya apa obat yang dia gunakan dia menyodorkan kepadaku sebuah salep Deksametason. Katanya salep itu diberikan oleh petugas apotik untuknya. Aku tersenyum, segera kulihat dengan seksama daerah yang dikatakannya gatal. Orang-orang yang belajar per-kulit-an mengatakannya sebagai plak eritem dengan batas tegas dan tepi meninggi. Dan menunjukkan khasnya ” central healing” dimana gambaran ini khas untuk penyakit jamur.

Untuk memastikannya bahwa yang diderita Pak Kardi adalah penyakit jamur, pemeriksaan yang harus dilakukan adalah kerokan dan diperiksa dengan larutan KOH. Dengan didapatkannya hifa panjang yang bersekat-sekat maka tegaklah diagnosanya. Dan segeralah dia diobati dengan obat topical/salep anti jamur golongan –azol sebagai pilihannya.

Memandang kondisi di atas memang cukup memprihatinkan, di mana ketika salah diagnosa dapat mengakibatkan penyakit yang muncul bukannya sembuh, tetapi malah bertambah parah. Pengetahuan masyarakat dan masuknya informasi menjadikan masyarakat lebih percaya diri mengobati diri sendiri. Sayangnya, tidak semua informasi yang diterima adalah informasi yang benar.

Dari kasus di atas misalnya, apoteker memberikan obat gatal kepada  Pak Kardi dengan golongan kortikosteroid. Memang, kortikosteroid merupakan salah satu ”obat dewa” yang banyak digunakan untuk mengobati gatal ataupun penyakit kulit lainnya.  Akan tetapi, pada kasus ini kortikosteroid tidak dianjurkan, dikarenakan steroid adalah makanan bagi jamur, sehingga bukannya mati. Sang jamur malah akan tumbuh dengan senang hati.

Ditambah lagi dengan peran media elektronik yang hampir selalu bertentangan dengan dunia kesehatan. Bagaiamana tidak, sebagian besar media menayangkan hidup sehat dengan trend antiseptik, termasuk penggunaan sabun antiseptik di dalamnya. Mereka menggencarkan bahwa dengan menggunakan sabun tersebut, sistem imun masyarakat akan meningkat dan tidak mudah sakit. Padahal, yang terjadi adalah sebaliknya, Penggunaan sabun antiseptik yang terus menerus akan menyebabkan bakteri normal di tubuh akan mati. Padahal bakteri ini diperlukan untuk menjaga keseimbangan di dalam tubuh. Jika bakteri banyak yang mati, maka jumlah jamur yang berkompetisi dengan bakteri akan meningkat dan mudah menyebabkan seseorang menjadi terkena jamur. Apalagi didukung dengan keadaan udara di Indonesia yang lembab, dan iklim tropisnya membuat masyarakat menjadi mudah berkeringat. Hal tersebut akan semakin meningkatkan faktor resiko terjadinya penyakit jamur atau pada istilah kedokterannya sering disebut dengan golongan tinea. Jika mengenai badan seperti kasus di atas, maka disebut dengan tinea corporis.

Hal ini bukan berarti kita tidak boleh memakai sabun antiseptik sama sekali, tetapi ada baiknya tidak menggunakannya setiap hari, begitu juga hal nya dengan sabun sirih untuk daerah kewanitaan ataupun sabun antiseptik lainnya.

Sayangnya, belum ada tindak lanjut dari pemerintah untuk menyelaraskan antara bidang periklanan dengan kesehatan. Media komunikasi yang berfungsi sebagai lini pertama pengetahuan bagi masyarakat luas masih perlu diawasi penggunaannya. Agar nantinya masyarakat bukan hanya sebagai korban iklan saja, tetapi juga mampu meningkatkan derajat kesehatan setinggi-tingginya.

Jadi, diharapkan masyarakat lebih selektif dalam menerima informasi yang ada. Ada baiknya dilakukan klarifikasi terlebih dahulu kepada ahli yang sesuai bidangnya. Hal ini dimaksudkan agar kasus seperti di atas tidak terulang kembali. Hingga nantinya, Jamur tidak semakin menjamur..

KARENA BERBEDA ADALAH ANUGERAH YANG LUAR BIASA..

Aku tak dapat mengikutinya. Ini benar-benar di luar logika yang kupunya. Berulangkali kutelusuri jalan fikiran yang buram, tanpa sinar. Di mana ujung?di mana pencerahan? Berharap ada sebait kata dari seseorang yang membuat gamblang semua misteri yang ada. Ah, kata orang memang otak kita berbeda. Sebegitu bedakah hingga tak ada satupun yang sama? Aku ingin kita sejalan, aku ingin kita sepemikiran, bahkan aku ingin kau tahu apa yang ku fikiran meski ku tahu kau bukan peramal.

Lagi, aku berfikir dengan kerasnya, menghabiskan segala energi yang kupunya, membuang seluruh peluh yang terjatuh. Mencoba menguak dan menggali setiap bait kata yang kau ucap dengan sengaja, ah, susah, sungguh susah dimengerti bahkan otakku pun mulai tak peduli. Menyerah dan pasrah. Aku tertunduk, memandang bintang dengan senyumnya yang mengembang. Aku tak ingin perbedaan itu ada, meski Tuhan bilang semua adalah kodrat yang harus diterima dengan lapang dada. Tapi sebaliknya, aku ingin kita sama-sama mengalaminya. Baik kau dan juga aku, hingga tak ada yang bisa kita perdebatkan di hari kemudian.

Tapi nyatanya, semua itu hanyalah impian belaka. Yang memang satu persatu harus mencoba luruh jatuh, mengalir bersama tetesan air mata yang membanjir. Dan kau masih di sana, menguatkanku dengan senyummu yang bersahaja, ” Kita adalah medan magnet, semakin kita berada pada kutub yang berbeda, semakin kuat daya tariknya. Seperti sepasang sendal, yang hanya bisa dipakai jika bertolak belakang. Percayalah, perbedaan yang ada bukan untuk menunjukkan siapa yang paling berkuasa, paling utama, dan paling berguna. Tetapi perbedaan ada untuk saling melengkapi satu dengan yang lainnya, hingga hidup kita menjadi sempurna.”

Aku memandangmu dari seberang, bersembunyi di balik bayang-bayang, perlahan senyumku mulai mengembang menggantikan rasa bimbang. Jika memang perbedaan itu harus ada, biarkan keberadaanya menjadikan hidup lebih warna, seperti lezatnya masakan yang kaya akan rasa. Aku akan belajar tentang arti kesabaran pada sang karang, yang tetap  berdiri tegar meski ombak menghajar, belajar tentang arti kesetiaan seperti pungguk yang tetap menanti meskipun berpuluh-puluh purnama silih berganti, belajar tentang arti bahagia dan tawa, tak peduli orang di luaran sana berkata apa.

Dan biarkan perbedaan itu tetap ada, karena perbedaan akan membuat dunia kita penuh warna. Karena perbedaan adalah anugrah yang luar biasa.  Aku dan kamu, kita, dengan mereka..:)

Surakarta, 17 Juni 2011
13.11 WIB


CATATAN TENGAH MALAM

Gemintang terdiam pilu,sinarnya yang riuh kini membisu.Pekat, bergulat dengan kelam yang berjelaga. Duduk termangu,tanpa kata..



Aku memandangnya dari balik jendela.inginku sekedar menjadi bulan yan g berpendar menemaninya,sekedar berbagi gula2 dan berbagi kisah lama..tapi kenyataan tak seperti angan yang dipahatkan.


Dirinya masih saja memandang nanar pada ujung2 tunas yang mulai kehijauan..Aku menunduk,terduduk.mencoba mengelupas kembali goresan2 angan tentang masa depan..menghibur jiwa yang mulai gulana.


Biarlah,akan tiba waktunya,kerlip itu terpancar kembali dgan indahnya,dan jika tak ada yang sanggup mewakilkan semua rasa,biarlah waktu yang menjawabnya,karena masa tak pernah berdusta.


Surakarta,.
00.30

DAN DIALAH LELAKI YANG TERINDAH

Aku memandangnya dari balik tirai jendela. Kulihat dirinya duduk di beranda sembari melepaskan penat yang seharian menggelantunginya. Bagaimana tidak, 10 jam menyetir dilakoninya seorang diri tanpa berhenti. Dirinya memandang nanar ke depan, kepada pot-pot bunga yang tertata sempurna. Raut mukanya datar, tetapi jelas memancarkan kelelahan yang luar biasa. Kulihat dirinya semakin tampak tua, dengan rambut hitam berhiaskan uban yang semakin merajalela. Bahunya yang kokoh kini mulai melayu dan terasa ngilu di sepanjang waktu karena sendi-sendinya tak sekuat dulu. Kulitnya mulai mengeriput dan kantung matanya menurun menunjukkan dirinya yang kurang tidur. Tetapi tetap, yang tak pernah hilang dan selalu membekas di wajahnya, senyum yang bersahaja.

Belum genap sepuluh menit dirinya menyandarkan kelelahan di atas kursi  yang muali usang, sebuah erangan memanggil namanya dari kamar di sebelahnya. Tanpa sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya segera dia langkahkan kaki menuju sumber suara, lagi kuintip dari balik jendela. Kulihat dengan penuh kasih sayang dirinya memberi pijatan untuk istrinya tersayang yang menderita sakit bertahun-tahun lamanya. Tak sedikitpun dia tampakkan kelelahan yang belum beranjak dengan sempurna, dan lagi-lagi sebuah senyuman yang bersahaja dia berikan kepada istrinya.

Tak pernah kudengar sekalipun dia mengeluh. Apalagi menyesali sakit yang diderita istrinya, dirinya selalu setia, mencari di mana obat itu berada, selalu berlapang dada, mengurus keperluan rumah tangga dan meladeni istrinya dengan sepenuh jiwa. Di zaman sekarang ini, dengan perbandingan laki-laki dan wanita 1:3 mungkin merupakan hal-hal yang sah saja jika dia berpaling ke lain hati, apalagi sang istri sudah tak mampu mengurusi. Tetapi dirinya masih saja tegak berdiri , di dekat sang istri , belahan jiwanya, membimbing, memberi semangat berteman lantunan doa.

22.30. Kulihat erangan terdengar dari rumah sebelah. Yah, mertua yang berdekatan rumahnya mulai meminta haknya. Dirinya segera bangkit, setelah meyakinkan diri bahwa istri tercintanya telah tidur, dilangkahkan kakinya menuju kamar mertua laki-lakinya. Dan tak lama, kucium bau minyak kayu putih yang digunakan untuk memijit mertuanya. Lagi tak kudengar sekalipun dia mengeluh. Sebaliknya, dia masih bisa mendengar segala keluhan dan memberikan semangat hidup kepada mertuanya.

Ah, mataku mulai berat. Ini sudah pukul 11 lebih, kulangkahkan kaki menuju kamar mandi untuk cuci muka dan tidur. Sekilas kulihat, dirinya masih asyik bercerita dengan mertuanya. Bercerita tentang kehidupan yang katanya begitu menyenangkan.

Mataku berat dan aku menggeliat, kulirik jam dinding di kamarku. Pukul 02.00. Kerongkonganku terasa kering, kulangkahkan kaki menuju dapur dan setengah terkejut kudapati dirinya masih terpaku di depan sebuah laptop usang ketinggalan jaman. Mengerjakan laporan-laporan dan tugas untuk anak didiknya esok pagi di sekolahan.

Dan pagi akhirnya datang dengan segala dingin yang menusuk tulang, membuatku masih ingin bergumul dengan selimut tebalku. ” Bangun dek, ayo sholat dulu, jatah puasa gak?” begitu suara serak itu terdengar dari balik pintu. Aku menggeliat malas, dengan setengah hati kulangkahkan kaki menuju kamar mandi. Kudapati dirinya lebih dahulu melangkahkan kaki menuju mushola.  Jarum jam menunjukkan pukul setengah 4 dan di dapur kudapati nasi sedang ditanak , serta air yang direbus untuk mandi istri tercintanya. Aku menunduk, entah rasa bersalah mulai menyeruak, memberontak memenuhi rongga-rongga hati.

Kulihat dirinya sedang menangis sesenggukan ketika aku berjalan memasuki mushola yang lebih mirip dengan kamar kosong tak berpenghuni. Tampak bulir-bulir bening mengalir dari mata sayunya, membasahi kulit keriput yang mulai kering dan tak terawat. Ingin rasanya menyekanya, tetapi tak sanggup rasanya melakukannya bahkan untuk sekedar melihatnya. Aku hanya mampu tertunduk, mataku berembun dan mulai gerimis. Ah...aku tak mampu berkata-kata lagi.

Dan dalam sepertiga malam itu, aku hanya mampu mengeluarkan isakan yang telah lama kutahan. Ya Allah, maafkan hamba yang tak pernah bisa meringankan bebannya, tak pernah bisa membuatnya bahagia, dan tak pernah bisa membuatnya bangga. Malah sebaliknya, hamba hanya bisa merepotkan, membebani dengan segala tuntutan akan kebutuhan. Berikan hamba kesempatan Ya Allah, berikan hamba jalan, berikan hamba cara sekali saja agar hamba mampu membuatnya bahagia, meski itu semua tak kan cukup membalas kebaikannya. Yah, dia, dan hanya dia. Karena dialah ayah, lelaki yang terindah.....

Surakarta, 24 Juni 2011
16.52 WIB

MIMPI ITU APA?

Mimpi itu apa?aku masih menengadah gundah,pada langit yang tak lagi cerah.Sekedar angan-angan keberuntungan seperti layaknya hoki ketika nasib diundi,ataukah kebahagiaan yang memang telah disediakan?Bagaimana?Bilamana?

Jika memang hanyalah undian kehidupan,untuk apa tertatih-tatih menahan rintih atas segala perih.Toh akhirnya segala usaha akan terbuang sia2 jika kita tak keluar sebagai pemenangnya.Bahkan para tetua itu berkata dengan lantangnya "wong pinter kalah karo wong bejo",sebegitukah??

Jika mimpi telah menanti untuk dihampiri,lalu tak bolehkah aku bermimpi lebih tinggi dari mimpi yang menunggu?lalu untuk apa mengeluarkan biaya dan tenaga begitu kerasnya,toh akhirnya hanyalah mimpi yang menanti dapat dihampiri..Ah..

Mimpi itu apa?kata orang mimpi tak ada yang abadi,seringkali 1 kejadian membangunkan semua angan2,lalu untuk apa bermimpi?jika nantinya tak ku bawa mati?

Mimpi itu apa?dapatkah mengenyangkan perut kosongku?atau sekali saja menyeka air mata dukaku.Lalu untuk apa aku mengejar mimpi?jika tak mempunyai guna sama sekali.

Dan aku masih saja menunduk takluk,berteman malam yang bosan berdendang..membiarkanku terpaku dalam keheningan.Dan sekali lagi kuseka peluh yang mulai runtuh,dengan penuh tanda tanya di dalam jiwa.Mimpi itu apa??

Surakarta,juni 2011
22.30,catatan sebelum tidur

PINTAKU PADA PAGI

Aku memang bukan bunga yang terindah di taman
Mungkin hanyalah sebatang mawar kering yang hampir patah
Maka siramilah jiwaku dengan air ruhani, dan tegakkan aku kembali dalam ikatan suci...

Aku memang bukanlah permata diantara mutiara
Mungkin hanyalah batu kusam yang tak berpijar
Maka poleslah aku dengan kasih dan keikhlasanmu

Aku memang bukanlah beringin yang kokoh di halaman 
Mungkin hanyalah ilalang yang tumbuh serabutan 
Maka jadikan aku ilalang yang terbaik, setidaknya menjadi lebih baik.

Senin, 25 April 2011

DALAM SEPERTIGA MALAM

Dalam sepertiga malam aku tersungkur di balik doa penuh air mata. Betapa tak terduga Ya Rabb hidup yang kau cipta, skenarionya begitu rapat, amat sempurna hingga tak sedikitpun aku mampu mengintipnya. Pun seakan bibir ini tak berhenti untuk meminta, mengulang-ulang kembali hingga mungkin Engkau bosan mendengarnya.Meminta dan terus meminta penuh rasa tak sabar untuk melihat hasil akhirnya.


” Aku ingin Kau bukakan pintu hatinya, Tuhan..”. Kata itu kuucap berulang-ulang.  Mungkin kau akan jengah dengan segala keluh kesah yang kuseru dalam doaku. Memang,aku tahu  makhluk macam aku, tak tahu malu mungkin Kau akan berkata seperti itu. Hanya bisa meminta, dan ketika Kau mengabulkannya, aku terbius denga tawa, meninggalkanMu begitu saja, dengan alasan yang sama, Lupa.

Ah, tapi jika aku tilik kembali daftar doaku, memang tak sedikit permintaan yang Kau kabulkan. Gratis, tanpa sepeserpun bayaran. Tapi aku masih saja geregetan, bagaimana tidak, satu doa  itu masih bertengger di daftar doaku, urutan teratas pula. Begitu susahnya kah Tuhan, Kau membuka pintu hati seseorang? Memberikannya hidayah dan mengembalikan ke jalan yang benar? Tidak bukan? Aku yakin, Kau adalah ahli membolak-balikkan hati. Tetapi, mengapa? untuk yang satu ini Kau tak jua mengabulkannya?

Adakah yang salah dengan doaku? Atau adakah yang kurang dengan ikhtiarku? Lalu, aku harus bagaimana? Agar Kau mengabulkannya? Taukah Tuhan, aku mulai putus asa, aku mulai jengah dan aku mulai lelah.

Dan dalam sepertiga malam itu, air mata masih akan terus mengalir pilu. Sekali lagi Tuhan, aku tak kan rela jika kau memberikan peringatan lewat sakit yang dideritanya. Tidak Tuhan, sudah cukup hati ini keriput melihatnya. Memandanginya yang mulai kurus kerontang, dengan senyuman sayu yang mengembang.

Tapi baiklah, jika memang begitu seharusnya. Aku akan terus meminta dan meminta. Meski aku tahu, Kau pasti bosan mendengar doa sumbang yang kulantunkan.

Dan kembali di sepertiga malam itu, biarlah bibirku mengatup pilu, bersama derasnya air mata. Setidaknya, masih ada harapan, dan aku yakin Kau adalah tempat meminta segala asa...

Surakarta, 14 April 2011
16.58
Disaat mood mulai kacau balau..>.<

BERIKAN SENYUM YANG TERSISA

Perempuan itu masih memandang nanar ke arahku. Hujan menderas dari kelopak matanya yang indah.
” Ya bagaimana lagi mbak, saya juga sudah pusing. Punya anak kok seperti ini..”
Aku memandang masygul perempuan kecil di sebelahnya. Kulihat dirinya tersenyum memamerkan deretan gigi ompongnya.
” Adek kelas berapa??” tanyaku sembari membelai rambutnya.
” Kelas 5 SD.” ucapnya sembari berrjalan kesana kemari. Sesekali dia meloncat naik turun di atas kursi periksa. Aku memandangnya sedikit iba, anak sebesar ini tapi belum mengerti etika atau memang tidak mengerti aku tak menggubrisnya.
” Memang aktif begini ya bu sejak kecil?” aku kembali memandang ibunya.
Ibunya menggeleng pasrah dan lemah. ” Tidak mbak, sejak kejang 8 bulan yang lalu dia jadi seperti ini. Prestasi belajarnya juga mulai menurun. Biasanya masih mendingan dapat nilai 7 atau 8 sekaran nilainya tak ada yang lebih dari 5. Oalah mbak, punya anak kok seperti ini. Sudah bodoh tambah bodoh pula..” ujarnya penuh penyesalan.

Aku tersentak mendengarnya, pun juga sepertinya gadis kecil itu tak menyangka ibunya berkata seperti itu.
” Ingin jadi apa dek kalau sudah besar?” tanyaku kepadanya. Pelan tapi pasti.
“ Aku pengen jadi guru kak..” ucapnya sangat bersemangat. Hatiku gerimis memandang kobaran asa yang terpancar dari mata beningnya.
” Kalau mau jadi guru adek harus rajin belajar ya...” ujarku sedikit menghibur.
” Iya mbak, kemaren sudah konsultasi ke psikologi anak. Kata dokternya anak saya harus sering-sering belajar meski sebentar-sebentar. ” sang ibu menyahut.


Aku tersenyum, kembali memandangi gadis kecil berkerudung hitam itu.
” Belajar mulai yang disenengi aja dik. Adik suka pelajaran apa?”
” Aku suka bahasa indonesia mbak. Aku seneng membaca, tapi suka kebablasan bacanya, kadang nggak ngeliat ada tanda titik atau koma.” katanya polos.

Aku terbahak dalam hati, tapi hanya mampu menunjukkan sesungging senyuman untukknya.
” Apa bisa mbak dia jadi guru. Orang sudah cacat seperti ini. Sudah gak normal otaknya.”
Aku mengehela nafas dalam. Epilepsi ternyata menimbulkan gangguan pada perkembangan  kecerdasan dan mentalnya. Tapi entah mengapa, ada rasa tidak tega mendengar sang ibu berkata seperti itu. Walau aku sendiri tak tahu bagaimana prognosis penyakitnya.

” Ibu tidak boleh berkata seperti itu” aku berkata sedikit keras. Sang ibu pun juga agak terkejut mendengarku yang berkata tak selirih biasanya.

” Sebagai ibu, ibu harus memberi dukungan pada adik. Ibu mungkin malu mempunyai anak seperti adik, cacat, tidak seperti anak kebanyakan. Ibu mungkin akan merasa begitu terbebani dengan semua itu. Tetapi pernahkah ibu berfikir? Bagaimana menjadi adik? Bertahan dengan segala kekurangannya, berimajinasi dengan mimpi-mimpinya, dan lebih malang lagi, dia seorang diri. Karena keluarga yang seharusnya mendukungnya, malah mencacinya, tak menerimanya. Lalu dia harus mengadu kemana?? Ibu harus kuat, ibu harus tegar. Kembalikan semua pada Allah, Dia yang memberi, Dia juga yang mampu mengobati. Ibu harus sabar. Ibu harus tabah,” aku berapi-api berkata kepadanya.

Kulihat hujan semakin deras, mengguyurkan buliran bening dari mata indahnya. Dia terisak. Kemudian merangkul lembut putri kecilnya.

” Terimakasih ya mbak...saya akan mencoba menerima semua musibah ini dengan lapang hati.”
Aku tersenyum, lagi-lagi hatiku gerimis, hanya mampu berucap dalam hati..Semoga Allah mengabulkan segala yang kau cita dan cinta yang kau ingini..:)



**Ketika anakmu tak seperti yang kau harapkan, tetap bersabarlah, berikan senyum yang tersisa kepada mereka. Karena seyumanmu akan menguatkannya, dan mengobarkan kembali impian yang hampir padam.

Surakarta, 16 April 2011
18.39
Catatan ke-111 semoga berguna...:))




KETIKA HATI HARUS MENANTI

Detik berlalu begitu lambatnya. Merangkak perlahan melewati jarum-jam  yang tak beraturan. Nafasnya terengah, setengah gelisah. Sesekali dirinya berhenti, tetapi kemudian dia memilih berlalu kembali. Pelan tapi pasti.
Aku mendengus memandangi pucuk-pucuk yang menari ke sana  kemari. Ini sudah puku lima, tetapi yang kutunggu tak datang juga. Kemanakah gerangan? Mataku menerawang menembus awan yang berarakan, saling berkejaran dan menghasilkan barisan yang sungguh menawan. Sesekali kualihkan pandangan ke arah kolam yang lebih mirip kubangan. Berisi ikan-ikan sekarat yang bertahan hidup dalam air yang berwarna coklat.

” Kau menunggu seseorang?” tanyanya.
Aku mengangguk.
”Iya, aku menunggu seseorang.” kataku mantap.
” Siapa?” tanyanya.
” Jodohku, aku menunggu jodohku,” ujarku. Kali ini agak setengah ragu.
” Bagaimana kau tahu jodohmu akan datang?”
Aku memicingkan mata ke arahnya. Ragu-ragu akau menjawabnya.
” Bukankah itu yang telah Tuhan janjikan kepada umat-Nya??”
” Tapi taukah kau waktunya?? Apakah Tuhan mengatakan kepadamu jadwal yang pasti?” dia semakin membuatku ragu.
Aku menggeleng, sedikit lemas. Tapi setidaknya masih ada harapan yang aku simpan.” Aku tak tahu kawan, kapan dia datang.” Aku menunduk, menyadari bahwa ternyata diri ini begitu bodoh, menunggu tanpa tahu waktu.

” Dan kau akan terus seperti ini? Menunggu setiap hari?” Dia berkata semakin sinis.
Aku terdiam, ” Bukankah aku memang harus menunggu? Karena janji Tuhan akan menjadi nyata bukan?”
Dia tersenyum. Memandangiku sembari bertanya dengan seyuman yang mengembang. ” Kau bosan tidak seperti ini? Menunggu dan terus menunggu? ”
Aku mengangguk. Lemas. Mau tak mau aku harus mengakui bahwa aku bosan menunggu.
” Lalu mengapa kau masih saja seperti ini?” tanyanya, nada bicaranya mulai meninggi.
” Menurutmu aku harus bagaimana?”
” Maukah kau mendengarkan nasihatku?”
Aku mengangguk.


” Baiklah duduk di sini dan dengarkan. Kau tahu bukan, jodoh akan datang. Dan Tuhan telah menjanjikannya. Bahwa setiap nyawa akan hidup secara berpasangan. Memang tak salah kau menunggu waktu itu datang, tapi kapan dan dengan siapa. Hanyalah Tuhan yang tahu rahasia di balik semuanya. Yang aku sesalkan hanyalah kau terlalu membuang-buang waktumu untuk sebuah penantian. Coba lihatlah dirimu, kumal begitu. Sudah berapa harikah kau tak mandi? Sudah berapa lamakah kau tak menyapa Sang Ilahi?Apakah kau yakin, jodohmu mau menemuimu dalam keadaan seperti ini? Ayolah kawan. Kembalilah pulang, rawatlah dirimu, perbaikilah hatimu. Dan jangan kau habiskan waktu hanya untuk menunggu. Banyak hal yang bisa kau lakukan. Banyak cita yang harus kau kejar.”

” Tapi, jika aku tidak menunggu di sini. Jodohku akan pergi. Dan aku akan kehilangan dia..” tanyaku ragu.
Dia terbahak. ” Kau tahu kawan. Jika  dia jodohmu, dia tak kan lari mesti kau tak di sini. Malah sebaliknya, dia akan mencarimu di mana pun engkau menunggu. Karena Tuhan telah memberikan tanda di mana kau berada.”
Aku tersenyum, mataku berbinar. ” Benarkah demikian kawan??” Dia mengangguk.

” Iya, jika kau percaya padaNya, jangan pernah khawatirkan sedikitpun janji-janjiNya. Nikmatilah setiap penantian ini dan gunakankah untuk hal-hal yang berguna dan berarti. Perbaikilah dirimu, karena kau adalah cerminan dari jodoh yang diturunkan Tuhan untukmu.”

Aku mengangguk. ” Baiklah kawan. Akan kugunakan setiap detik penantian ini dan mengisinya dengan hal-hal yang berguna. Hingga nantinya akan kugapai  keduanya, cita dan cinta.”
Dia tersenyum, kemudian berbalik pergi. Tenggelam bersama lukisan senja yang mulai kemerahan. Yah, bayang-bayang itu akan kembali suatu saat nanti, pengingat hati di kala lupa diri.

Surakarta, 16 April 2011
22.10
Untuk seseorang, terimakasih telah mengajarkanku akan arti cinta yang sebenarnya..:) 


BUANG KEBAIKAN DENGAN CUMA-CUMA

Terik mentari masih asyik menyambangi setiap sudut bumi. Sinarnya tajam, mengelupas setiap jengkal tanah yang mulai menganga. Penuh akan dahaga dan kerinduan akan rinai hujan yang menyambanginya. Wanita tua itu masih terduduk di sudut taman, memandang nanar udara sekitar. Nafasnya kembang kempis, seolah terlalu susah memasukkan liter demi liter udara yang dihirupnya. Sesak yang dia rasa, meski disekelilingnya pohon-pohon raksasa menjuntaikan lengan-lengan kokohnya, pun daun-daunnya dengan suka rela memberikan bergalon-galon oksigen kepadanya.

” Ada apa dengan mu? Aku lihat sedari tadi kau merenung pilu..” sang beringin mulai menyapanya.

Wanita tua itu memandang sang beringin dengan tatapan sayu. Hatinya gerimis. Entah darimana dia akan memulai untuk bercerita, tetapi perlahan-lahan keluar juga kata-kata dari mulutnya.

” Aku merindukan anak-anak angkatku. Rasanya sesak. Mengingat mereka yang tak pernah menjengukku.”

” Bukankah kerinduan itu menyenangkan???”

” Tidak, sama sekali aku tidak menikmatinya. Ini bagaikan sayatan belati yang digoreskan tajam-tajam ke ulu hati. Jika aku mengingat kembali apa yang sudah aku lakukan kepada mereka, rasa-rasa aku menyesalinya. Bagaimana tidak, siang malam aku membuang tenaga bekerja untuk menghidupi mereka. Tetapi sekarang? Ketika  mereka menjadi orang ternama. Mereka lupa kepadaku. Bahkan sekedar memberikan kabar untukku saja mereka tak mau.”


” Kau menyesal???”

” Entahlah, tetapi aku sakit hati diperlakukan seperti ini..” sang wanita berkata lirih.

” Lalu apa yang kau mau dari mereka??”

Wanita itu terdiam, memandangi rerumputan yang mulai tumbuh dengan liar. ” Setidaknya mereka mengucapkan terima kasih kepadaku. Meski aku bukan ibu kandung mereka.”

Sang beringin tergelak. Wanita itu melotot. ” Mengapa engkau menertawakanku??” Apakah salah jika aku berfikiran seperti itu?”

Sang beringin terdiam, tersenyum sembari memandang tajam sang wanita.

” Begini nyonya, kau tahu? Adalah hal yang wajar jika kebaikan yang kau lakukan tak mendapat balasan. Sikap tidak berterimakasih itu alamiah, dia akan tumbuh liar, seperti rerumputan di halaman. Sedangkan sikap berterimakasih adalah sesuatu yang dipupuk, seperti mawar yang tumbuh subur karena mendapatkan siraman air dan pupuk kandang. Jadi biasakanlah hidup tanpa terimakasih, ini adalah hal alamiah. Kau hanya akan mendapatkan kegalauan dan rasa sakit hati, jika selalu mengharapkan ucapan terimakasih dari setiap kebaikan yang kau beri.”

Wanita itu tertunduk. Buliran bening membanjiri pipi keriputnya.

” Sudahlah, tak usah kau menangis. Jika kau rindu sampaikan kerinduanmu kepada mereka. Tetapi jangan pernah mengharapkan ucapan terimakasih dan balas budi dari mereka. Biarlah mereka mengunjungimu, merawatmu dengan setulus hati, bukan karena sebuah balas budi. Karena engkau bukanlah pemberi hutang. Kau hanyalah tangan yang dipercaya Tuhan untuk merawat mereka. Jadi jangan pernah merasa memberi, karena kita bukanlah siapa-siapa. Buanglah kebaikan dengan cuma-cuma, tanpa mengharapkan sedikitpun imbalan atasnya” sang beringin tersenyum sembari mengangguk-angguk senangnya. Dahan-dahan kecil yang bergelantungan di pundaknya pun tergoyang-goyang mesra.

Wanita itu tersenyum mengangguk. Dihelanya nafas panjang-panjang dan dihembuskannya bersama segala sesak yang dia simpan rapat begitu lamanya. Yah, ikhlas membuat semuanya menjadi ringan, tanpa beban.

Surakarta, 22 April 2010

* Saat merindukanmu ibu...Pengen pulang...:(((( 

Jumat, 04 Februari 2011

SAAT HIJAU MUDA MENJADI HIJAU TUA

Ujung daun bambu itu masih merunduk, menatap kosong tanah basah yang menggelut di ujung kaki batangnya. Sesekali dirinya menggeliat, menatap nanar dedaunan jati yang basah di sekitar. Yah, semalam embun telah memandikan mereka, mengupas tuntas daki dan menjadikan mereka tegak kembali.

Dirinya mendesah, sekali dua kali dirinya membiarkan tergoyang ke sana kemari. Menampilkan parade lemah gemulai tersenggol larian angin dengan arah yang tak pasti. Dia terpekur, dalam hening pagi yang kemerahan. Rambut hijau mudanya bergerak-gerak ke segala arah, dimainkan bayu yang suka berpolah. Tapi dia memilih diam.Tak terasa air matanya mengalir, mengelus lembut batang-batang kuning bergerigi di bawahnya, membangunkan mereka dari tidur yang sungguh lelapnya.

Mereka menggeliat, memandang ke atas meski silau mentari pagi menerpa mereka. Memaksa mereka memandang dengan mata yang sungguh sipitnya.

” Mengapa engkau menangis, nak? ” tanya sang batang tertua. Warnanya tak lagi berwarna hijau tua, tetapi sudah menguning kecoklatan.

Daun bambu muda itu menggeleng. Terdiam dan semakin terisak.

” Sudahlah, berhentilah menangis. Berceritalah, apa yang bisa kubantu. Kali-kali ada nasehat yang bisa kubagi denganmu.”

Daun muda itu memandang ke arah batang tua, ditatapnya lekat tanpa sisa.


” Aku sedang sedih. Aku merasa tak berguna dan tak berarti apa-apa. Bagaimana tidak, daun-daun yang telah berwarna hijau tua itu mencampakkanku. Mereka menganggapku anak kecil yang tak seharusnya tahu menahu. Mereka menganggapku pecundang, dan parahnya kali ini aku benar-benar merasa sebagai pecundang. Bagaimana tidak, tak seberapa banyak klorofil yang bisa aku sumbangkan untuk kalian, hanya beberapa bungkus kecil saja yang bisa aku setorkan. Dan mereka mengejekku, mereka bilang aku bukanlah makhluk berguna. Kau dengar kan?Ketika hembusan angin datang, seringkali aku dengar mereka berbisik bergesekan, membicarakanku. Menggunjingku dan mencaciku, terkadang juga mereka juga sengaja menempatkan aku di tempat  ini. Di pucuk yang paling tertinggi, kau tau kan??Di sini angin sangat besar, sangat mengerikan menghadapinya. Dan mereka mencari aman saja, jika sekali dua kali sinar mentari tak sampai ke bumi, mereka mencaciku. Aku disangka terlalu menutupi cahyanya. Padahal kau tahu, lebarku pun tak seberapa. Ah..apapun yang aku lakukan, selalu salah, semua salah...”

Daun bambu itu terdiam. Pun begitu batang tua itu.


” Padahal dulu mereka pernah muda seperti ku kan sebelum mereka menjadi daun yang hijau ? Apa mereka banyak berguna? Lalu mengapa? Setelah mereka mempunyai banyak kemampuan dan ketrampilan mereka mencaciku ?menginjak-injakku??Apakah seperti ini dunia nyata wahai batang tua??”

Batang tua itu tersenyum. Digoyangkannya perlahan badannya yang bergerigi, sehingga menimbulkan goyangan lembut yang meninabobokkan sang daun muda.

” Anak muda, inilah dunia. Tak selamanya yang terjadi seperti apa yang kita pinta. Banyak sekali yang meminta dan baik hati ketika masih menjadi daun muda sepertimu, tetapi ketika sudah menjadi daun tua yang punya kuasa dan ilmu. Mereka lupa, mereka telah melupakan sejatinya bahwa mereka dahulu adalah juga daun muda. Mereka hanya bisa mencaci dan menyombongkan diri. Yah, inilah hidup dan inilah nyata. Hanya saja, jika aku boleh berpesan kepadamu. Jadikan ini pelajaran untuk hidupmu kelak. Jadilah daun tua yang berkuasa, tetapi tetap mau memandang tanah yang menghidupinya, tetap mau menengok daun muda yang berada di ujungnya, yang melindunginya dari teriknya mentari yang menghujam bumi. Tetap tersenyumlah meski dunia tak lagi ramah. Semakin engkau bisa mengambil arti semakin engkau bijaksana nanti. ” bambu tua itu berkata sembari mengelus jenggot panjangnya.

Daun muda itu terdiam. Dia tersenyum, ada secercah sinar yang menghangatkan hatinya. Mencairkan hatinya yang membeku pilu. Hangat, mengalir ke seluruh urat-urat  hijau mudanya. Dia mengangguk dan sekali lagi tersenyum bergoyang gemulai dengan riangnya ketika sang bayu menyapanya.

”Suatu saat nanti, aku akan menjadi daun hijau tua yang baik hati dan tak lupa diri,” janjinya dalam diri  dan dia ikatkan erat-erat dalam sudut hati.

=Rani Alzena=