Jumat, 04 Februari 2011

SAAT HIJAU MUDA MENJADI HIJAU TUA

Ujung daun bambu itu masih merunduk, menatap kosong tanah basah yang menggelut di ujung kaki batangnya. Sesekali dirinya menggeliat, menatap nanar dedaunan jati yang basah di sekitar. Yah, semalam embun telah memandikan mereka, mengupas tuntas daki dan menjadikan mereka tegak kembali.

Dirinya mendesah, sekali dua kali dirinya membiarkan tergoyang ke sana kemari. Menampilkan parade lemah gemulai tersenggol larian angin dengan arah yang tak pasti. Dia terpekur, dalam hening pagi yang kemerahan. Rambut hijau mudanya bergerak-gerak ke segala arah, dimainkan bayu yang suka berpolah. Tapi dia memilih diam.Tak terasa air matanya mengalir, mengelus lembut batang-batang kuning bergerigi di bawahnya, membangunkan mereka dari tidur yang sungguh lelapnya.

Mereka menggeliat, memandang ke atas meski silau mentari pagi menerpa mereka. Memaksa mereka memandang dengan mata yang sungguh sipitnya.

” Mengapa engkau menangis, nak? ” tanya sang batang tertua. Warnanya tak lagi berwarna hijau tua, tetapi sudah menguning kecoklatan.

Daun bambu muda itu menggeleng. Terdiam dan semakin terisak.

” Sudahlah, berhentilah menangis. Berceritalah, apa yang bisa kubantu. Kali-kali ada nasehat yang bisa kubagi denganmu.”

Daun muda itu memandang ke arah batang tua, ditatapnya lekat tanpa sisa.


” Aku sedang sedih. Aku merasa tak berguna dan tak berarti apa-apa. Bagaimana tidak, daun-daun yang telah berwarna hijau tua itu mencampakkanku. Mereka menganggapku anak kecil yang tak seharusnya tahu menahu. Mereka menganggapku pecundang, dan parahnya kali ini aku benar-benar merasa sebagai pecundang. Bagaimana tidak, tak seberapa banyak klorofil yang bisa aku sumbangkan untuk kalian, hanya beberapa bungkus kecil saja yang bisa aku setorkan. Dan mereka mengejekku, mereka bilang aku bukanlah makhluk berguna. Kau dengar kan?Ketika hembusan angin datang, seringkali aku dengar mereka berbisik bergesekan, membicarakanku. Menggunjingku dan mencaciku, terkadang juga mereka juga sengaja menempatkan aku di tempat  ini. Di pucuk yang paling tertinggi, kau tau kan??Di sini angin sangat besar, sangat mengerikan menghadapinya. Dan mereka mencari aman saja, jika sekali dua kali sinar mentari tak sampai ke bumi, mereka mencaciku. Aku disangka terlalu menutupi cahyanya. Padahal kau tahu, lebarku pun tak seberapa. Ah..apapun yang aku lakukan, selalu salah, semua salah...”

Daun bambu itu terdiam. Pun begitu batang tua itu.


” Padahal dulu mereka pernah muda seperti ku kan sebelum mereka menjadi daun yang hijau ? Apa mereka banyak berguna? Lalu mengapa? Setelah mereka mempunyai banyak kemampuan dan ketrampilan mereka mencaciku ?menginjak-injakku??Apakah seperti ini dunia nyata wahai batang tua??”

Batang tua itu tersenyum. Digoyangkannya perlahan badannya yang bergerigi, sehingga menimbulkan goyangan lembut yang meninabobokkan sang daun muda.

” Anak muda, inilah dunia. Tak selamanya yang terjadi seperti apa yang kita pinta. Banyak sekali yang meminta dan baik hati ketika masih menjadi daun muda sepertimu, tetapi ketika sudah menjadi daun tua yang punya kuasa dan ilmu. Mereka lupa, mereka telah melupakan sejatinya bahwa mereka dahulu adalah juga daun muda. Mereka hanya bisa mencaci dan menyombongkan diri. Yah, inilah hidup dan inilah nyata. Hanya saja, jika aku boleh berpesan kepadamu. Jadikan ini pelajaran untuk hidupmu kelak. Jadilah daun tua yang berkuasa, tetapi tetap mau memandang tanah yang menghidupinya, tetap mau menengok daun muda yang berada di ujungnya, yang melindunginya dari teriknya mentari yang menghujam bumi. Tetap tersenyumlah meski dunia tak lagi ramah. Semakin engkau bisa mengambil arti semakin engkau bijaksana nanti. ” bambu tua itu berkata sembari mengelus jenggot panjangnya.

Daun muda itu terdiam. Dia tersenyum, ada secercah sinar yang menghangatkan hatinya. Mencairkan hatinya yang membeku pilu. Hangat, mengalir ke seluruh urat-urat  hijau mudanya. Dia mengangguk dan sekali lagi tersenyum bergoyang gemulai dengan riangnya ketika sang bayu menyapanya.

”Suatu saat nanti, aku akan menjadi daun hijau tua yang baik hati dan tak lupa diri,” janjinya dalam diri  dan dia ikatkan erat-erat dalam sudut hati.

=Rani Alzena=

KETIKA AWAN BERBAGI CATATAN

Awan tipis menggantung, terayun-ayun dalam dahan-dahan langit yang membiru. Arakannya semarak, menciptakan coretan tak beraturan dalam kanvas kehidupan. Indah, laksana buih-buih kapas yang berterbangan bebas, lepas, dan tak kenal batas. Sesekali mereka tersenyum, menyembulkan pelangi di sudut-sudutnya. Lega rasanya menumpahkan rinai hujan seharian, hingga akhirnya bisa terbebas dari muatan air yang menjadi beban.

Dia tersenyum sedikit mengejek kepada layang-layang yang putus asa karena tak mampu menggapainya. Diombang-ambingkan ke sana kemari oleh bayu yang tak tahu diri. Kadangkala ditengoknya gunung-gunung yang berlomba-lomba menghampirinya. Berdiri tegar dan tak tergoyahkan oleh badai-badai yang menghadang. Atau sesekali diliriknya sawah-sawah petani yang mulai kekuningan. Menghaturkan aroma gembira kepada pemiliknya karena sebentar lagi masa panen akan tiba. Tapi kali ini dirinya menggerutu, meratapi bahwa apa yang dilihatnya tidak seperti dulu.


” Ah, rasanya bosan aku memandangi mereka setiap kali. Selalu saja merka melakukan kebodohan. Dulu, aku masih sering melihat hutan-hutan berdiri kehijauan, tetapi sekarang. Mereka lebih suka mengikuti trend mode jaman sekarang. Membabat habis rambut mereka hingga gundul tak bersisa. Padahal aku benci melihat batang-batang gundul tak bertopi. Dan dulu, sungai-sungai itu masih berwarna biru. Memantulkan sinar gemerlapan tiap kali cahaya mentari datang menghujaminya. Tapi sekarang, keruh warnanya. Penuh dengan tanah dan sampah-sampah. Paling-paling yang berubah adalah gedung yang menjamur di sana-sini. Mengambil alih sawah dan tanah lapang tak bertuan. Sungguh pemandangan yang sangat membosankan, ” ujarnya.

Diselonjorkan tubuh tambunnya yang bergumpal-gumpal pada horizon yang kemerahan. Dirinya mulai terlelap perlahan dibelai semilir angin daratan yang berhembus ke lautan. Begitulah yang dia lakukan setiap harinya, hanya memandangi bumi dari singgasana empuknya. Dia sangat sensitif, seringkali ketika menonton film drama air matanya menetes habis tak bersisa, dan sebagai imbasnya banjir akan terjadi di mana-mana. Pun dia juga suka menonton bola, setiap teriakannya ketika ”GOL” tercipta akan menelorkan guntur yang maha dahsyat, bahkan kaca-kaca rumah di bumi pun ikut bergetar karenanya.

” Ah...benar-benar parah..” ucapnya suatu pagi ketika dirinya mengintip bumi dari balik terali besi kamarnya. Tampak di pandangannya hutan yang rata dengan tanah setelah dilalap si jago merah, rumah terendam air bah, dan orang-orang tertimbun longsoran tanah.

” Hidup apa ini,” dia mencaci. ” Kenapa pula mereka tak bisa menjaga diri dan lingkungannya sendiri. Ah, manusia memang makhluk  pembuat bencana.” cacinya lagi. Dirinya terbatuk. Akhir-akhir ini kesehatannya memang menurun. Maklum saja, usianya telah menua. Uban di rambutnya juga telah penuh di kepala.

Dan begitulah seterusnya. Yang dilihatnya setiap pagi adalah bumi yang semakin rusak. Manusia serakah yang tak tahu diri, mengorbankan harga diri dan kehormatan demi mencari sesuap nasi. Hingga tak lagi dia sanggup untuk menonton segala parade kerusakan di muka bumi.


Dihelanya nafas dalam-dalam. Hari ini adalah waktunya dia kontrol kesehatan. Setelah bertahun-tahun lamanya dia tak peduli akan kesehatannya. Ketika dia memeriksakan ke ahli mata, betapa kagetnya dia ketika sang ahli berkata.

” Mata Anda sudah berkurang ketajaman penglihatannya. Sudah tua, hingga pandangan Anda menjadi kabur. Cobalah Anda pakai kacamata yang saya beri. Gagangnya terbuat dari bahan husnudzon yang  tinggi, kacanya terbuat dari bahan yang enggan mencaci dan penuh introspeksi. Saya yakin setelah ini Anda akan merasakan perubahan yang berarti.”

Sang awan mengangguk. Awalnya dia terdiam ragu, tetapi dilakukan juga saran ahli mata yang memeriksanya. Dia kenakan kacamata itu. Dan dipandanginya sekitar, terang. Lalu ditengoknya kembali bumi yang menyiksanya beberapa hari ini. Ajaib, setiap jengkal tanah di atasnya, menyajikan keindahan yang tak terkira. Taman penuh bunga bermekaran, pohon-pohon hijau berambut gondrong kehijauan, sawah-sawah siap panen, dan sungai yang mengalir kebiruan. Dia tersenyum dan menyadari. Ternyata selama ini dia salah menilai. Tak ada salah dengan bumi yang dipandangnya, tetapi kesalahan itu ternyata ada di pandangannya dan cara dia memandangnya...


CATATAN YANG TERSERAK


Rasa haru menyeruak menyesaki dada, ketika menatap lekat lelaki separuh baya di depanku.Tubuh yang semula tambun kini mulai mengurus dan mengeriput, kantung-kantung kelopak matanya pun semakin besar, menunjukkan kelelahan yang teramat sangat. 


Lelaki pendiam itu terus saja meneruskan kesibukannya, tak sadar bahwa aku mengamatinya dalam-dalam. Dengan sisa sedikit tenaga dan rasa kantuk yang terpaksa tertahan, dia mempersembahkan pijatan cinta untuk istri tersayangnya. 


Laki-laki itu telah yatim piatu sejak SMA, ibunya meninggal ketika melahirkan adiknya. Waktu itu dia masih berusia 3 tahun, sedangkan ayahnya meninggal ketika SMA. Mencangkul sawah, jualan, menjadi rutinitas pekerjaan yang dijalaninya. Namun kemiskinan bukanlah hambatan untuk tak bisa mengenyam pendidikan. Dengan beasiswa, akhirnya dia bisa menraih gelar sarjana. 

Air mata ini mulai tertahan di pelupuk, memaksa untuk menyembur keluar tanpa kecuali. Tapi aku masih bertahan. Terbayang kelelahan yang sangat, setelah membanting tulang seharian dan mengurusi pekerjaan rumah tangga, dia masih saja dengan setia meluangkan waktu untuk istrinya. Belum lagi jika harus menyetir ketika berpergian berjam-jam lamanya. Dia masih saja bertahan menunda waktu lapar dan lelahnya dan lagi-lagi hanya untuk istrinya.

Aku teringat dialah orang yang paling protektif kepada ku, ketika teman laki-lakiku maen ke rumah. Dia adalah orang pertama yang menemui. Menanyakan darimana, ada keperluan apa, siapa, mirip seorang polisi yang menginterogasi tawanan habis-habisan. Ketika aku mulai bernjjak dewasa, dan pergi ke Jogja untuk menimba ilmu. Dialah orang yang menyarankanku untuk berhijab, menutup aurat rapat-rapat, dengan 1 kata wanti-wanti..”Jangan mau diboncengkan oleh laki-laki yang bukan mukhrim mu sendiri” 



Dialah orang yang selalu menelfonku tiap minggu, menanyakan apakah aku pulang atau tidak ke kampung halaman. Melepas rajut-rajut kerinduan dan menggantikannya menjadi rasa kelegaan. Ada rasa bersalah dalam diriku ketika dengan terpaksa aku berkata “ tidak” karena banyak urusan perkuliahan atau karena akan maen dengan teman-teman.


Dialah ayahku. Lelaki tegar yang selalu menyayangi keluarga. Setia dengan 1 istri walaupunn tak dapat memberikan banyak hal kepadanya. Dia mengajarkan aku akan arti mencintai dengan ketulusan, mencintai tanpa mengharap balasan, mencintai dengan sabar agar yang dicintai dapat menjadi yang lebih baik.


Dialah ayahku, yang memberiku banyak inspirasi. Tak pernah ku dengar sepatah kata keluhanpun di bibirnya, Mengeluh kalau lelah, marah, bosan, ataupun sebagainya. Tetaplah bertahan ayah…Semoga surga di lapisan tertiunggi adalah balasan terhadap penderitaan dan kesabaranmu selama ini. Tetaplah bersemangat ayahku. Karena kamu adalah inspirasiku, semangat di saat aku mulai lunglai menghadapi pahit getirnya kehidupan. …..Karena kau lah lelaki terhebat yang pernah aku temui selama aku hidup. 

PENGANTIN DIDIKAN ALAM

Pagi hampir datang, kubuka mata dan kusiapkan segantang semangat untuk membuka lembar baru. Kuintip jendela, kulihat embun mulai berkemas akan meninggalkan pucuk daun yang telah memberinya tumpangan. ” Kau mau kemana ” tanyaku ingin tahu. Sang embun menghentikan kesibukannya, sembari tersenyum dia berkata, ” aku harus pergi, mentari akan datang sebentar lagi.” Aku tertegun. ” Apa kau membenci mentari? Dia telah membuatmu bersusah payah pergi tanpa tujuan pasti. Embun menggeleng. “ Kami saling mencintai dan merindukan, meski sekalipun aku tak pernah melihat wajahnya yang indah. Dia mengajarkanku untuk berbagi dan menghargai. Ketika malam tiba, dia rela bersembunyi di balik gunung untuk memberiku kesempatan merasakan nikmatnya tidur di ujung dedaunan, terayun-ayun dinina bobokan. Sebaliknya ketika fajar hampir menjelang, aku berkemas. Karena aku tak ingin dia menahan penat seharian bersembunyi di balik bebukitan. Kadang ketika aku terlambat bangun dia bersembunyi di balik mendung, hingga aku terjaga dan menyadari bahwa pagi telah tiba. Sebenarnya aku ingin bertemu dengannya, sekedar mengucapkan terimakasih atas kebaikan yang dia beri selama ini. Namun dia melarangku, dia berkata jika aku memaksakan diri bertemu dengannya, aku hanya akan menjadi uap air dan menguap begitu saja ke angkasa. Aku sungguh mencintainya meskipun sekalipun aku belum pernah melihatnya,” si embun berkata dengan binar matanya. Aku takjub, menahan haru yang menyeruak dada.


Mentari mulai meninggi, sang embun pun segera pergi. Aku melangkah keluar rumah. Kugerakkan badan sembari mengamati sekeliling. Aku melihat pohon mangga masih tertidur dengan pulas. Sementara benalu yang bertengger di dahan-dahannya dengan rakus mengambil sari makanan yang telah dia siapkan” Hei, kau jangan rakus, ” teriakku. Benalu berhenti mengunyah, dia melirikku. ” Mengapa kau mau enak saja? Tak mau bekerja tetapi hanya menumpang di rumah orang,” ujarku geram. ”  Si benalu mulai angkat bicara, ” Tau apa kamu tentang aku dan si mangga. Kau tahu? Dia bisa sampai pulas seperti ini karena aku yang selalu mendongengkan sebuah cerita untuknya. Kau tahu? Dia sering insomnia. Sering dia menangis di tengah malam karena tak ada kawan yang sanggup terjaga. Hingga aku datang mengunjunginya, dia merasa sangat bahagia. Dia tak ingin aku pergi. Buktinya dia tak pernah sekalipun mengusirku. Malah setiap lilitan ku disambutnya dengan mesra.” si benalu menjawab dengan begitu acuhnya lalu meneruskan sarapannya. Tak peduli dengan diriku yang masih menatap mereka dengan heran. Aneh, begitu pikirku.

Aku mulai melangkahkan kaki. Ingin segera mandi. Namun, lagi-lagi aku menatap nanar sang ulat yang bertengger manja di daun mawar yang hampir berbunga. Sembari menghirup udara pagi yang menyejukkan dia mengikis sedikit demi sedikit daun yang dia tempati. ” Hei, ulat tak tahu diri. Mengapa kau tega menghabisi mawar yang memberimu tumpangan. Tak tahu balas budi, ” seruku pilu. Sang ulat terbelalak, lalu tersenyum. ” Taukah kau wahai manusia. Mawar memang baik hati dan aku mengakuinya. Ketika aku linglung berjalan tak tentu arah, dia mempersilahkan aku tinggal di rumahnya yang mewah. Dia ijinkan aku untuk menikmati sepuasnya daun yang dia punya. Aku benar-benar terharu. Tapi bukan berarti aku tak tahu balas budi. Aku hanya perlu waktu untuk dapat membalas kebaikannya. Aku juga tidak terus-menerus menjadi parasit untuknya. Jika telah tiba saatnya aku akan menjadi ulat yang dewasa. Di mana saat itu aku telah siap untuk bersemedi. Jika lulus ujian, aku siap bermetamorfosa menjadi kupu-kupu yang menakjubkan. Dengan sayapku aku akan membantu perkawinan antara benang sari dan putik sang mawar sehingga dia bisa mempunyai keturunan. Mungkin apa yang aku lakukan tak bisa membalas apa yang dia berikan, tapi memang hanya itu yang bisa aku lakukan. Dari hati yang terdalam,” sang ulat menatapku tajam. ” Terserah jika kau tak percaya,” ujarnya kemudian.

Aku terdiam. Tanpa kata. Embun dan mentari tak pernah bertemu tetapi saling merindu. Benalu dan pohon mangga menciptakan sebuah elegi untuk saling melengkapi. Ulat dan mawar, saling memberi dan berbagi dengan cinta dan ketulusan. Bagiku mereka adalah ” pengantin semesta” yang tak terpisahkan. Pengantin semesta didikan alam. Yang tercipta bukan untuk saling menyalahkan. Namun, tercipta untuk saling mengisi dan melengkapi. Mereka mampu mensyukuri apa yang ada di sekeliling mereka. Karena mereka percaya bahwa Tuhan menciptakan umatnya tidak untuk hidup seorang diri.

HIKAYAT KOTORAN SAPI

Langit penuh. Ditumpahkannya pelan-pelan, gerimis dari perutnya yang buncit. Udara membeku, membuat sang surya enggan beranjak dari peraduannya. Aku suka pagi seperti ini. Bau sawah dengan wangi padi yang mulai menguning. Tak sabar rasanya melihat wajah gembira pemiliknya ketika masa panen tiba.

Aku menggeliat malas. Dingin membuatku menarik kembali selimut coklatku. Aih…tiba-tiba aku merasa ada yang menginjak kepalaku. Kudongakkan kepala, Tono anak manusia itu mengeluh gaduh. “ Sial..aku menginjak kotoran sapi,” Dia mulai mencaci dan mengata-ngataiku. Aku memandangnya sendu. Kuusap kepalaku yang sedikit botak karena sebagian rambutku menempel erat di kakinya.

Aku menerawang pilu. Mengapa banyak orang meremehkanku. Taukah kawan  aku punya suatu rahasia, baiklah akan aku ceritakan kepadamu tentang diriku yang sebenarnya. Aku memang hanyalah berasal dari ilalang, temanku bekatul dan saudaraku air comberan. Kami berkolaborasi dan akhirnya sukses masuk ke dalam tubuh sapi. Kalau ingat bagaimana perlakuan sapi kepada kami, aku jadi tak ingin masuk ke tubuhnya lagi. Tubuhnya hangat memang, tapi kami ditendang ke sana kemari oleh ususnya. Banyak prajurit-prajurit mikroba dan enzim-enzim yang dikeluarkan sehingga kami menjadi hitam legam seperti ini. Dan lihatlah, badanku menjadi bau busuk karena fermentasi.


 Awalnya aku menyesal akan takdirku. Tetapi Tuhan berkehendak lain. Aku malah disayang oleh majikankku. Dipakainya aku sebagai pupuk tanaman. Mereka yakin aku mempunyai sifat  dermawan, sehingga jika dekat denganku tanaman-tanaman itu tak akan kurang makan. Kadangkala, ketika majikanku tak punya uang aku digadaikan ke pasar demi beberapa lembar uang ribuan.

Aku ikhlas. Malah senang. Lalu di suatu pagi ada seseorang peneliti dari kota memakaiku untuk menghidupkan kompor rumahnya. Awalnya aku tak yakin akan bisa, tapi setelah ku coba. Ternyata aku mampu. Hebat, ternyata Tuhan memberikan banyak mukjizat untukku. Sejak saat itu aku aku sering digunakan dan dikenal dengan sebutan Biogas.

Hari demi hari berlalau, sebuah lembaga di Jakarta mengubah biogasku menjadi inovasi yang lebih baru. Sumber listrik!! Aku dikenal sebagai bioelektrik. Bahkan aku juga sempat menggantikan solar jika dia mulai kelelahan. Senangnya bisa memberi penerangan di tengah gulita malam.

Dan tak habis sampai di situ kawan. Tahun 2009 ada sekelompok mahasiswa yang menggunakanku sebagai bahan pembuatan batu bata. Tambah lagi deh gelarku, EcoFaeBrick. Begitulah mereka menamaiku. Senang tak terkira hatiku, bahwa ternyata EcoFaeBrick 20% lebih ringan dan 20% lebih kuat dibanding batu bata dari tanah liat.

Aku bersyukur rasanya. Ternyata ada banyak hikmah dibalik hitamnya diriku. Busuk dan lembeknya badanku. Tuhan memang Maha Kuasa. Nah, kawanku manusia. Sekarang aku tanyakan kepadamu, bisa-bisanya engkau mencaciku. Sudahkah engkau bercermin? Apa yang bisa kau lakukan untuk orang lain? Seberapakah berharganya engkau di mata mereka? Jangan-jangan engkau kalah berharga dibanding diriku ini, seonggok kotoran sapi.

CURHAT SETETES TINTA

Saya tergagap ketika seseorang yang membaca sebuah tulisan saya bertanya, “ Lalu bagaimana dengan si penulis?”. Saya hanya bisa menjawab, “ Penulis pun juga masih berusaha menjadi lebih baik dan segala sesuatu itu butuh proses”. Tetapi entah mengapa, pembaca tersebut sepertinya bernafsu sekali untuk menguliti saya habis-habisan. Seakan-akan memberikan putusan dalam siding pengadilan atau secara implisit dirinya ingin berkata, “ Sebelum kamu berbicara atau menulis, lihat saja diri kamu pantas tidak berkata seperti itu. Jika memang kamu sendiri belum bisa menjalani tak usah banyak bicara”. Benar-benar pukulan yang telak. Saya pun tidak pernah menyangka medapat komentar sepedas itu. Padahal ketika menulis, niat saya hanya ingin berbagi dengan teman-teman di samping  untuk melatih kemampuan menulis saya agar tidak tumpul. Tidak ada maksud sama sekali untuk menggurui, bahkan saya menyerahkan hak kepada mereka untuk sependapat ataupun tidak terhadap tulisan saya.

Jujur, setelah kejadian itu saya menjadi tidak bersemangat. Tak ada gairah sama sekali yang meletup-letup seperti dahulu. Setiap membuka leptop saya menutupnya kembali, baru satu bait saya tulis sudah saya hapus lagi. Saya benar-benar berfikir keras, dan takut jika tulisan saya salah lagi. Tetapi semakin saya berfikir, saya semakin mengalami kebuntuan. Perasaan saya hilang, padahal untuk menulis suatu inspirasi itu dibutuhkan imajinasi. Sampai akhirnya saya menyerah, 1 hari saya lalui tanpa satu buahpun naskah.Sia-sia.

Hingga akhirnya ada seorang teman berkata kepada saya, ” Menulis itu adalah membaca berulang-ulang. Oleh karena itu menulislah tentang kebaikan, harapan, dan impianmu. Agar ketika engkau membacanya untuk mencari kesalahan kata engkau menemukan semangat lagi, ketika engkau membaca untuk mencari kesalahan tulisan engkau berani bermimpi lagi. Menulislah seperti mimpi-mimpimu, harapanmu, keinginanmu walaupun engkau belum mampu menggapainya. Tak perlu menjadi sempurna lebih dahulu untuk menulis, tetapi tulisanmu yang akan membawamu menjadi lebih baik. ”



Saya kembali tegak berdiri mendengarnya. Senyuman melebar bagaikan mawar yang bermekaran. Yah, menulis adalah bagian dari jiwa. Tak hanya menjadi hobi, tetapi sudah menjadi bagian dari hidup. Saya kembali menyingsingkan lengan baju, merangkai kata demi kata di atas lembar baru. Tetapi kali ini saya meluruskan niat untuk menulis tentang kebaikan. Agar ketika suatu saat saya membacanya kembali saya bisa menjadi lebih baik lagi.

Jika engkau menginginkan aku untuk berhenti menuangkan tinta
Tantanglah dahulu mentari yang membagi sinarnya
Apakah dirinya mampu berhenti berbagi kepada dunia
Yang sudah menjadi separuh bagian hidupnya..

AKU DAN BAYANG-BAYANG

Hidup ini sulit. Penuh dengan liku yang sangat tajam. Begitu aku selalu berkata pada bayang yang selalu mengikuti kemana ku pergi. Entah mengapa dirinya selalu setia denganku padahal aku selalu mengabaikannya dan menyuruhnya untuk berada di belakangku bukan di sampingku.

Dengannya aku mengeluh gaduh, berceloteh tentang segala penat yang aku lalui hingga saat ini. Entah, walaupun aku bosan selalu dikuntit. Tetapi mau tak mau aku akui, dia adalah teman yang menyenangkan. Selalu ada untukku, mendengarkan segala keluh yang aku ungkapkan. Dan lebih menyenangkan lagi, dia adalah pendengar yang baik. Tak pernah menyela ketika aku bercerita. Yang pasti aku merasa senang, bisa menumpahkan gulana yang menyesakki dada.
Kadang aku heran kepadannya. Tak juga dia bosan menemaniku memandangi pekatnya malam, sembari mendengarkan kisahku yang ”itu-itu”. Yah, mengeluh tentang kehidupan. Tentang getirnya sebuah perjalanan. Menumpahkan tiap-tiap inchi langkah penuh duri yang selalu membekas dalam ingatan. Mungkin dia pun telah hafal akan roda kehidupan yang kujalani, bagaimana tidak, dia pun ada di dekatku saat itu tepatnya menguntit di belakangku. Tanpa aku ceritakan pun sepertinya dia telah tahu. Tapi dengan senyuman  dan berteman diam dia masih saja mendengarkan, keluh yang sama dan berulang-ulang.

Itulah mengapa sore itu aku terkejut. Ketika mendengarnya menyela. Waktu itu aku sedang berceloteh bersama dengannya  dibawah temaram matahari senja. Dia menyela ketika aku menyanyikan kembali lagu lama. Mengingat luka yang berkali aku kata telah terobati walau nyatanya malah semakin bernanah. Aku menatapnya, dalam hati aku berkata ” Apakah dirinya sudah bosan mendengar ceritaku?”. Tetapi jawabannya sewaktu itu benar-benar menyentakku.

”Aku iri denganmu,”

Aku memandangnya heran.

” Kau iri denganku? Bagaimana bisa? Hidupku hanya penuh dengan luka dan duri. Penuh dengan ranjau bahaya yang dapat menghancurkanku  kapanpun dia mau. Bagaimana kamu bisa iri dengan orang yang mempunyai kaki penuh bekas luka duri? Apa yang kamu iri kan?”


“ Tidakkah kau sadari? Bahwa selama ini kau hafal setiap inchi langkah yang kau jalani. Ada lubang di sebelah mana, ada ranjau seperti apa. Bahkan kau pernah merasakan sakitnya tertusuk duri, merasakan sakitnya jatuh di lubang, merasakan kecemasan akan letak ranjau yang selalu mengintaimu. Kau punya cerita, kau punya warna dalam hidupmu. Hidupmu tidak berlalu dengan monoton. Hidupmu begitu indah. Sedangkan aku, aku hanya bayang-bayang yang mengikutimu dari belakang. Jalanku lurus tanpa rintangan. Bagaimana tidak, ketika engkau jatuh di lubang, aku tentu tak akan melewati lubangmu, tak akan pernah melalui duri yang melukaimu. Aku memilih jalan yang tanpa rintangan. Hingga kita sampai di tempat tujuan bersamaan. Kita sama, tetapi engkau lebih punya banyak cerita untuk dibagi, bahkan engkau mengingatnya di luar kepala, Sedangkan aku, yang ku tahu adalah jalan di depanku selalu lurus, tanpa kelokan dan rintangan. Selama ini aku diam bukan karena aku tak mau berbagi denganmu. Tetapi karena aku tak punya kesah untuk diceritakan, karena aku tak punya pengalaman yang menakjubkan. Hidupku lurus, hidupku terlalu sempurna.  Semua berjalan seperti yang kuinginkan. Tak ada peristiwa yang membuatku terpuruk, terjatuh, bahkan bersedih.
Hidupku hambar, bahkan aku tak mampu mengingat setiap jengkal langkahku. Aku tak punya kenangan.” ujarnya menunduk sedih.


Aku memandanginya iba. 

” Ya sudah, mulai sekarang berjalanlah di sampingku. Jangan berjalan di belakangku. Tetapi jangan  pula kau mendahuluiku. Kita berjalan bersama, dan kamu akan merasakan apa yang aku rasa. Jangan bersedih lagi. Aku mengijinkanmu mencicipi kenangan  yang kulalui, sedikit berbagi denganmu pasti lebih menyenangkan. Ada teman di tiap langkah perjalanan, lagipula pasti akan banyak kenangan yang bisa kita ciptakan berdua. Sudahlah, usap air matamu. Tresenyumlah karena senyummu akan memekarkan kuncup yang melayu.” ucapku menghiburnya.

Dia mengangguk lalu perlahan dirinya menghilang bersama tenggelamnya mentari di balik bebukitan. Walaupun dia tidak nampak, tetapi aku tahu. Dia masih ada di sini. Di dekatku.

=Rani Alzena=

AKU DAN HUJAN

Hujan membumi, menyapa mesra kuncup-kuncup yang dahaga akan rinainya. Perlahan-lahan rintiknya yang halus berjatuhan, membasahi tanah kering kerontang tak bertuan. Disajikannya aroma tanah yang menyejukkan, seperti layaknya gelontoran es degan dikala kerongkokan tercekik oleh rasa haus yang melanda. Memang, beberapa hari ini mentari lebih dominan menguasai peradaban dengan sinar teriknya. Tak dipedulikannya dedaunan yang mulai gerah dan ulat-ulat yang bertengger di baliknya mulai tak betah. Tapi bagaimanapun juga, tidak ada yang istimewa dan berubah dari alam yang kutengoki setiap hari, atau lebih tepatnya aku tak peduli dengan perubahan itu.

Sekilas ku tatap anak-anak hujan yang berlari riang ketika menyentuh tanah. Menciptakan gemericik orkes yang perlahan mulai kunikmati alunannya. Yah, aku telah melupakannya. Bahkan untuk mendengarkan dendang gratisnya pun seringkali aku tak sudi, dan lebih memilih bergelut erat dengan selimut tebalku sepanjang hari. Masa bodoh dengan tawanya, toh tidak akan mengobati luka yang ada, malah sebaliknya hujan hanya mengingatkanku tentang kesedihan.

Dan sungguh, berulangkali aku harus menyumpah serapah. Ketika colekan manjanya menyentuh mantolku yang basah karenanya. Aku benar-benar tak suka, sedikitpun aku tak ingin berkawan dengannya. Bagaimana mungkin? Aku lebih memilih teronggok di pembaringan ketimbang harus berdamai dengan makhluk itu, makhluk menyebalkan bernama hujan.



Aku pun sebenarnya tidak mengerti kenapa aku begitu membencinya. Tetapi karenanya aku terlarut sekian lama akan kenangan-kenangan yang takkan terlupa. Yah, setiap memandanginya akan nampak di depanku, indahnya tawa bermain bola bersama kawan-kawan di bawah rintiknya, atau memancing di hilir sungai ketika hujan mengalir begitu derasnya, dan berjuta kenangan lain yang tergores bersama jatuhnya hujan. Macam apa itu? Bisakah kau bayangkan kenangan-kenangan itu terpaksa menyembul memenuhi rongga hatimu? Lalu apa yang akan kau lakukan? Mengulanginya kembali seperti dulu?

Bisa- bisa orang menganggap aku setengah gila ketika makhluk kepala dua seperti ku bergabung dengan parade anak-anak desaku berkecimpung dalam genangan hujan sembari tertawa lepas tanpa beban. Yah, begitu menyesakkan, ketika tak mampu kembali mengulang kenagan-kenangan indah yang terpatri di hati.

Sungguh, meskipun hujan masih saja setia mengetuk daun jendela kamarku, mendesesis mengiba mengajukan proposalnya maafnya kepadaku. Aku masih tak mampu, sekalipun untuk memandangnya. Biarlah dia terus berteriak di luaran sana. Sekali lagi, aku tak peduli.

IJINKAN AKU MEMANDANG SALJU

“ Ijinkan aku memandang salju..” kata itu selalu terucap di setiap sujudku. Mungkin engkau akan menilai aku kampungan, pun mungkin pula kau akan menilaiku sebagai seseorang yang menyedihkan. Tetapi aku tak peduli. Kenyataannya aku bukanlah seorang dengan gelimpangan harta, yang punya cukup uang hanya sekedar untuk melihat salju ke Jayapura. Apalagi hingga ke Eropa.

Ijinkan aku memandang salju, sebelum nanti aku menutup usiaku. Bersama segelintir harapan semu, yang aku tanamkan di dalam kalbu. Sesekali inginku memandang butiran indahnya, merasakan derajat suhu ekstrimnya, walau banyak orang bilang salju itu menyusahkan tetapi bagiku itu adalah sebuah kerinduan.


Baju-baju putihnya yang bersih selalu membayangi setiap anganku. Memaksa khayalku untuk menggapainya, menyentuhnya di ujung-ujung dedaunan yang merunduk berat olehnya. Dengannya kusandarkan angan, bersama sejuta harapan akan kerinduan negeri orang. Yah, aku ingin salju membawaku ke sana. Ke tempat di mana aku bisa mengukir segala cita dan cinta.

Mungkin engkau bilang aku tak bangga dengan nusantara, atau aku bukan orang yang cinta produk Indonesia. Sebaliknya lebih parah kau akan mencaci bahwa aku tak mensyukuri apa yang Tuhan beri. Tetapi apa daya, memang itulah mimpi yang selalu merangsuk masuk setiap malamku. Menyuplai pembuluh jiwa yang mulai dahaga akan aliran darah penuh asa. Yah, salju telah memantikkan semangatku, salju telah menerbangkan impianku. Salju membuatku bermimpi dan terus mencoba ketika gagal menghinggapi dan saljulah yang membuatku berdiri saat aku terjatuh ketika berlari.

Jadi jika aku boleh meminta kepadaMu Sang Maha Kuasa, ijinkanlah aku memandang salju. Bersama cita yang tergantung di dalamnya. Bersama tiupan angin pengharapan yang berhembus karenanya. Meskipun tak selamanya aku mampu berselimutkan bekunya, ijinkan aku memandangnya, meski hanya sekejap mata.

CERITA PAGI BUTA

Langit abu-abu. Digelontorkannya separuh air yang terkandung penuh dalam perut buncitnya, perlahan tapi pasti ditumpahkannya gerimis hingga membumi, menyapa setiap kuncup yang berusaha membuka kelopaknya dengan segenap tenaga yang dia punya. Pagi ini memang tak seperti pagi sebelumnya. Tak ada semburat cahaya jingga yang berebutan di ufuk timur mega. Mereka pulas, terayun-ayun dalam buaian angin kehidupan.

Pukul 03.30. Beku masih terasa menusuk tulang-tulang kayu bambu yang berselimut gelugut coklat susu. Aku menggeliat, melemaskan penat yang bergelantung manja di sendi-sendi diri. Menghempaskan mereka tanpa ampun, terkapar dan tak kembali. Sadarku masih bersembunyi, dirinya enggan menampakkan batang hidungnya, kedinginan sepertinya. Kupaksa dia kukerjapkan mata melihat sekeliling dan kubuka jendela. Lagi, dingin itu membabat habis tubuh ringkihku hingga badanku bergetar tak karuan.

Masih terasa, sisa tangis semalam. Membekaskan sembab pada kelopak yang membengkak. Menguras habis cadangan air mata yang aku punya. Ah, hidup kenapa penuh derita. Tak bisakah sekali saja aku berdiri menatap mentari dengan riang hati? Tak bisakah sekali saja aku menikmati harumnya mawar tanpa harus tertusuk duri? Jika memang hanyalah ujian, kapankah kelulusan diumumkan? Nyatanya yang ada bukanlah bahagia, tetapi malah ujian yang lebih berat dari sebelumnya. Ah, hidup apa ni. Aku tak percaya lagi dengan kata-kata pujangga yang selalu berkata. ” Berakit-rakit dahulu berenang-renang ke tepian.” Yang ada hanyalah bersakit dahulu tak pernah senang kemudian. Aku mendesah, tak mau kalah dengan hembusan angin yang membuat dedaunan goyah.

Masih kutelanjangi pucuk-pucuk dedaunan yang mulai basah. Gerimis menderas, menggerus tuntas tunas yang dahaga akan siramannya. Dari kejauhan kudengan kokok ayam jantan yang bernyanyi riang. Aku heran, selama ini tak pernah sekalipun dia berhenti bernyanyi. Entah hujan, dingin, tak ada mentari, dia tetap bernyanyi. Aku heran, jangan-jangan dia mulai gila, hingga sudah mati rasa. Penasaran ini mulai menyergap, membuatku diam-diam menginipnya di balik kandangnya.

Mati aku. Rasanya malu ketika kudapati dia memergokiku yang sedang mengintipnya berndendang riang.

” Apa yang kau lakukan di samping kandangku, wahai anak muda? Kau tahu kan aku bukan ayam betina? Jadi tak ada sebutir telur pun yang bisa aku sumbangkan untukmu?” katanya kepadaku.

Aku terdiam. Lalu bertanya heran kepadanya.

“ Mengapa kau masih saja berdendang riang setiap paginya? Padahal aku tahu, istrimu sudah kusembelih dan kucampurkan pada opor makan malam keluargaku semalaman. Lagipula 3 ekor anak yang kau punya sudah mati terlindas truk tertangga kemarin lusa. Lalu, mengapa kau masih saja bernyanyi, berdendang dan mengucap selamat datang kepada mentari. Kau sudah gila ya? Apa ku perlu mencarikan dokter untukmu?” tanyaku tergesa.

Dia tertawa, terbahak sembari mengepakkan sayapnya. Jenggernya bergoyang-goyang dan ekornya melambai kesana kemari.

”  Aku memang sedih wahai anak muda. Hati dan batinku memang nelangsa karenanya. Aku sendiri, sebatang kara tanpa teman di sisi. Anakku mati, begitu juga tak punya istri. Tetapi aku bisa berbuat apa? Aku bisa saja menyalahkan Tuhan yang membuat truk melindas anakku, atau saja menyalahkan Tuhan yang membuat keluargamu menyembelih istriku. Tetapi inilah hidup, garis kehidupan yang harus aku lalui. Itu mengapa aku memilih bernyanyi dan tertawa, karena setidaknya aku masih bisa membagi arti dan bahagia untuk teman-teman di sekelilingku. Justru karena mereka aku bahagia, justru dengan berkokok pagi-pagi aku bisa merasa berarti. Karena aku, kau tak telat bangun pagi, karena aku, mentari tahu kapan dia harus menampakkan  diri. Kau tahu? Hal itulah yang membuatku masih mampu bertahan.” ujarnya sembari tersenyum memandangku.

Bibirku beku, lidahku kelu. Tak kusangka dia yang harusnya terluka masih bisa tertawa dan memberikan arti untuk orang-orang di sekelilingnya. Menebarkan bahagia dan senyuman pada kelopak-kelopak yang sedang dirundung kesedihan.
” Mengapa engkau harus menangis,nak. Sedangkan aku di sini tertawa. Kau harus bisa menjalani kehidupan yang telah Tuhan gariskan. Setiap orang telah ditentukan jalannya, jadi janganlah sekali-kali kau iri akan apa yang Dia beri pada orang lain. Setiap orang punya ujian kehidupan. Jadi, percayalah, Dia menyanyangimu, sangat.” ujarnya sembari tertawa lebar memandangku.

Aku mengangguk perlahan. Membalas senyumnya. Perlahan tapi pasti kucerna semua nasehatnya. Sesekali kubenarkan juga apa yang dikatakannya.  Hingga akhirnya dalam hati aku berjanji. Tak akan pernah menyembelihnya suatu saat nanti. Akan kubiarkan dia berdendang setiap pagi, sebagai pengingat diri bahwa tak seharusnya aku menangis, sedangkan dirinya mampu tertawa.

=Rani ALzena=

KUE SERABI TERNIKMAT

Di suatu malam nan dingin. Ketika rembulan enggan menampakkan dirinya, aku berjalan menyusuri emper tetokoan. Menerobos pekatnya malam untuk bernostalgia dengan kota Yogyakarta. Orang bilang kota ini adalah kota yang eksotis, penuh dengan sejuta peristiwa dan selaksa makna. Begitu juga denganku, kota ini telah berhasil menyajikan kenangan manis, semanis gula-gula kegemaranku waktu masih belia dahulu. Legit, dan sungguh menyenangkan.

Kuhentikan langkah ketika melihat seorang nenek tua yang duduk di pojokan jalan berteman panci adonan dan tungku pembakar. Aku mendekatinya. Hmm, nenek itu menjual kue serabi kegemaranku. Aku tertarik mencicipinya. Yah, cuaca yang dingin seperti ini memang lebih lengkap jika diselingi yang hangat-hangat. Suatu bentuk pepaduan rasa yang akan menenangkan jiwa.

Serabine kaleh nggih ,mbah1)
 Nggih neng, di dhahar mriki?” 2)

Aku mengangguk.
Sembari menunggu serabi pesananku, aku tergelitik untuk memandangi wajah tua yang penuh keriput itu. Dia sendirian, tanpa seorang pun teman. Dengan perlahan dituangkannya adonan tepung beras ke dalam cetakan berbentuk lingkaran. Diaduk-aduknya perlahan lalu ditutupnya dan kemudian dia diam, menunggu hingga matang. Matanya memandang nanar  seperti mencari-cari munculnya gemintang.

 Malam itu bayu berhembus cukup kencang, membelai lembut setiap jiwa yang dilewatinya. Aku bergidik, rasanya dingin menjelajahi setiap sendi dan tulangku. Tetapi wanita tua itu tak bergeming, dia masih saja asyik menjelajahi setiap sudut jejalanan yang mulai lenggang. Entah apa yang dia pikirkan, tetapi dia terlihat begitu menikmatinya.

Putrane pinten mbah ?” 3) tanyaku memcah keheningan.
Tigo neng.” 4) jawabnya.
Lha simbah sadeanipun piyambakan ?” 5)
Dia mengangguk.
Anak kulo sampun merdamel sedanten dateng Jakarta, boten datheng griyo.” 6)
Mboten ndherek putranipun kemawon mbah? Kan boten usah sadean dalu-dalu kados mengaten? 7)
Dia menggeleng.
Mboten neng. Kulo boten purun ngrepoti anak-anak kula. Mireng piyambakipun sampun sukses kemawon kulo pun remen” 8)

Aku terharu, lidahku kelu. Siapa sangka seorang penjual serabi di depanku ini mempunyai tiga orang yang menjadi pengusaha sukses di kota Jakarta. Dan dia lebih memilih untuk tidak merepotkan anak-anaknya, tinggal di gubuk kecil seorang diri dan hidup dari berjualan serabi.

Bagi dirinya, apa yang dia lakukan untuk membesarkan anak-anaknya selama ini adalah suatu hal yang sangat menyenangkan untuknya. Sesuatu hal yang sangat dinikmatinya, walaupun dia haus menjadi tulang punggung utama sejak suaminya meninggal dunia. Tak pernah sedikitpun terfikir olehnya untuk menerima sedikitpun imbalan atas jerih payahnya.

Aku memandang langit yang mulai kelam. Entah mengapa, ada rasa menyeruak di dalam hatiku. Ayah, ibu, kakak, adik,  sahabat, keluarga, dan teman-temanku. Sedang apa kalian di sana? Sudahkah kalian bangga dengan diriku? Dan seberapa berartinya aku buat kalian? Aku mendesah. Sepertinya yang terjadi sebaliknya, aku yang selalu merepotkan kalian. Mengeluh gaduh akan getirnya kehidupan.

Aku teringat beberapa hari yang lalu ketika meminta motor kepada orang tuaku. Dan ketika mereka tidak mengabulkan keinginanku, amarahku muncul begitu mudahnya. Jiwaku menuntut bahw sudah seharusnya mereka mencukupi semua kebutuhan anak-anaknya,  bagaimanapun keadaannya. Padahal yang terjadi, bukannya mereka tak mau menuruti keinginanku, tetapi mereka tidak mampu. Gaji ayah yang tidak seberapa, ditambah dengan gaji ibu yang tidak menentu. Ah, ayah, ibu. Maafkan aku. Bukannya meringankan bebanmu, aku malah selalu merepotkanmu.


Aku pun teringat kejadian kemarin, belum sembuh luka karena pertengkaranku dengan Dian, sahabat kentalku sejak aku masih belia. Hanya karena nilaiku yang lebih tinggi darinya dia menghindar dariku. Padahal selama ini aku selalu menolongnya, membantunya mengerjakan tugas-tugasnya. Alih-alih mengucapkan terima kasih, yang ada malah umpatan cacian bukannya rasa setia kawan. Ah, mengapa dunia ini penuh dengan manusia tak tahu balas budi. Aku mendengus.

Tetapi malam ini, hatiku terketuk. Jiwaku berdetak. Nenek tua ini seharusnya berhak untuk mendapatkan hasil dari jerih payahnya menghidupi anaknya selama ini. Dia berhak hidup enak, mewah, dan berkecukupan. Tetapi mengapa dia lebih memilih sendiri? Sebegitu besarkah rasa cinta kasih seorang Ibu kepada anak-anaknya? Ibarat sebuah sungai yang tak henti-hentinya memberikan air kepada lautan?

 Ah, aku malu-benar-benar malu. Ketimbang diriku, nenek tua ini lebih berhak mendapatkan semua kenikmatan hidup. Tetapi dia tidak menuntut, malahan dia senang walaupun hidup memprihatinkan. Tidak tebersit sedikitpun penyesalan telah membesarkan anak-anak yang tidak tahu balas budi itu.  Ah, betapa malunya aku. Aku bukan apa-apa dibanding nenek penjual serabi itu.

Aku menerima semangkuk serabi yang disodorkan nenek itu. Yah, serabi adalah makanan kesukaanku. Percampuran antara tepung beras yang tidak berasa dengan kuah gula jawanya yang amat manisnya menciptakan sebuah filosofi bahwa untuk menghasilkan kue serabi yang enak, kedua bahan itu harus saling melengkapi. Begitu pula kehidupan, akan lebih berwarna dan terasa bermakna jika bisa saling melengkapi, saling mengisi kekurangan dan juga kelebihan.

Aku masih asyik menyeruput kuah gula jawa. Orang di Yogyakarta lebih suka menyebutnya ”juruh”. Sepintas kupandangi lagi nenek tua di sebelahku, dan aku terkejut ketika kudapati dirinya yang sedang membaca hafalan doa walau dengan terbata-bata dan hanya bisa membaca dari tulisannya di bawah lampu kota yang berpijar temaram.

Lagi, aku tercekat. Setua itu, sang nenek masih bersemangat belajar. Di saat orang-orang seumurannya telah menyerah karena merasa telah ”bau tanah”, nenek ini malah semakin yakin bahwa belajar itu tidak pandang usia.

 Aku tertunduk. Rasa malu benar-benar menguliti diriku, Habis tak bersisa. Diriku yang masih muda hanya mengenal foya-foya, meminta, dan tidak pernah berusaha. Untuk sembahyang saja pun begitu susahnya. Nanti sajalah kalau sudah tua, selalu begitu fikirku. Padahal diriku tahu, umur dan kematian bukanlah urutan kacang. Yang tua belum tentu mendahului yang muda, begitu sebaliknya.

Jalanan semakin lenggang tanpa terasa habis sudah serabiku tanpa sisa. Segera kusodorkan beberapa lembar uang ribuan kepada nenek penjualnya. Serabi dan nenek tua itu mengajariku akan hidup yang indah. Hidup tanpa mengharap kata ” terimakasih” ataupun balas budi. Dia mengajariku untuk melakukan kebaikan untuk dilupakan, dan melakukan kesalahan untuk diingat agar tidak terulang di kemudian hari. Dia juga mengajarkan kepadaku, bahwa menuntut ilmu itu tak kenal waktu. Ah, indahnya hari ini. Memperoleh pelajaran yang begitu berarti. Terimakasih mbah, serabimu adalah santapan jiwaku yang paling nikmat.

Lebih baik kuterima 1 kata terimakasih dari hati
Diantara 1000 kebaikan yang kulakukan
Daripada aku menerima 1000 terimakasih
Tetapi hanya sebuah kata basa basi....

Keterangan :
1) Serabinya dua ya, mbah (Mbah : sapaan untuk orang lanjut usia di Jawa)
2) Iya neng, dimakan di sini?
3) Anaknya berapa, Mbah?
4) Tiga, Neng.
5) Lha simbah jualannya sendirian?
6) Anak saya sudah bekerja semua di Jakarta, tidak di rumah.
7)Tidak ikut anaknya saja, Mbah? Kan tidak usah berjualan malam hari seperti ini?
8) Tidak, Neng. Saya tidak mau merepotkan anak-anak saya. Mendengar mereka sudah sukses saja saya sudah senang.