Pernahkah kalian punya mimpi? Dan bagaimana jika mimpi itu tak mampu diraih? Padahal hanya sedikit lagi? Yah, this story based on true story. Akhir tahun 2012, saya dan mantan pacar saya (*ehm..sekarang sudah jadi suami saya) berencana untuk mengambil kuliah ke luar negri bersama. Waktu itu dia sudah menjadi dosen di salah satu universitas negeri. Sedangkan saya baru saja lulus disumpah menjadi seorang dokter.
Mantan saya itu punya motivasi yang sangat tinggi karena memang ini ketiga kalinya dia menunda kuliah keluar negeri karena sesuatu hal. Persyaratan seperti Paspor, ijazah dan transkrip yang sudah ditranslate, Toefl ITP, recomendation letter, bahkan sudah kursus mandarin pula karena negara yang dituju adalah negara Taiwan. Amunisi sudah lengkap, tinggal waktunya apply ke universitas yang dituju.
Suatu hari mantan saya mendapat kabar bahwa universitas yang dituju membuka wawancara di Yogyakarta, tepatnya di UGM..Berbekal amunisi yang dipunya berangkatlah dia ke Jogja. Dengan terengah2 mengejar kereta dan bis ke sana mantan saya sampai di sana tepat setengah jam sebelum pendaftaran ditutup.
Setelah penyerahan berkas dan wawancara yang cukup hectic (karena saat itu mantan saya sempat numpahin gelas ke baju sang prof :)) mantan saya akhirnya diterima dan mendapat LoA alias Letter of Acceptance unconditional di Master of Biomedical Informatic Taiwan Medical University alias TMU ,dia tetap diminta untuk mendaftar secara online untuk resminya.
Yah..tentu saja dia sumringah..saya pun menyambutnya gembira...Lalu saya?? Disitulah diskusi panjang bermula..Ada keinginan untuk mengikutinya tapi mengambil jurusan apa? Saya benar2 seorang fresh graduate yang benar fresh tak tahu apa2.
Akhirnya dengan beberapa pertimbangan apply lah saya ke Master of Humanities and Medicine, dan mengambil major di bidang etika. Saat itu saya juga baru saja memulai debut karir saya sebagai dosen non pns di salah satu universitas negri sama seperti suami saya.
Tinggal 1 bulan waktu pendaftaran dan saya belum punya amunisi apa2. Disitulah saya kejar tayang menyiapkan semuanya. Mulai buat paspor (untung saat itu sudah mulai sistem online), tes Toefl ITP ( yang hasilnya masih mengkis2 jauh dari perkiraan), translate ijazah dan transkrip, sampai cari recomendation letter, sudah begitu masih harus buat motivation letter yang berisi tentang motivasi mengambil bidang tersebut.
Ketika apply secara online saya sudah pasrahlah..secara semua serba mendadak. Ketika menunggu waktu wawancara (entah by phone atau skype) saya sudah deg2an. Secara speaking saya masih amburadul. Tapi bismillah sajalah, yang penting optimis. Demi cita2..dan cinta..hehehe :)
Well, lupakan sejenak mengenai kuliah di luar negeri. Juni 2013, saya dan mantan saya akhirnya benar2 sah menjadi sepasang suami istri. Ciee ;p. Well, pokoknya begitulah saya kira cerita tentang romansa2 itu nggak penting untuk dijadikan konsumsi publik. Every couple have their story, right?:)
1 bulan kemudian keluarlah pengumuman dari TMU dan beginilah hasilnya :
Alhamdulillah kami diterima. Well, puji syukur kepada Allah. Mungkin inilah kado terindah bagi pernikahan kami.
Tapi ternyata perjuangan tidak berhenti hingga disini, melainkan ada banyak aral dan rintangan yang menghadang. Tapi sementara, bersambung dulu ya..nanti saya lanjutkan di part 2 :)