“Lebih baik sakit
hati, daripada sakit di gigi….” :D
Plesetan lagu dangdut yang entah
lupa siapa penyanyinya, cocok banget jadi backsound
cerita kali ini. Of course bagaimana tidak. Orang sakit
hati paling-paling cuma nangis bombay , sambil nunggu waktu dan yakin
bahwa time will heal every pain. Tapi
sakit gigi? Oh, nyerinya sungguh menyayat hati, makan tak enak tidur tak
nyenyak, emosi labil, apalagi jika tidak
periksa ke dokter gigi? Benar-benar menyiksa diri.
Berawal dari nyeri denyutan yang
saya rasakan beberapa bulan lalu, tepatnya di bagian kanan bawah. Nyeri yang
hilang timbul itu tidak saya gubris dan enggan saya periksakan ke dokter gigi.
Maklum, cukup punya fobia masa kecil sama dokter gigi :D. Tapi ternyata, Allah
punya rencana lain. Bulan ini, nyeri berdenyut semakin sering terasa, menjalar
hingga ke telinga dan mata. Kalau menurut anatominya, tepatnya di nervus V (
trigeminalis).
Saya yang pada awalnya tidak
terlalu suka mengkonsumsi obat, harus terpaksa mengkonsumsi anti nyeri. Tapi
dalam waktu 3 hari, nyerinya tidak berkurang, malah semakin menghebat dan mampu
membuat saya nangis bombay.
Baiklah, akhirnya mau tak mau
saya harus ke dokter gigi. Gerimis yang mengguyur langkah sore itu tak terasa
dibandingkan dengan sakit gigi yang harus dirasa. Pergilah saya ke dokter gigi
yang dulu semasa koas adalah guru saya. Setelah mengantri sejenak dan
diperiksa, saya disarankan untuk foto Panoramic.
Yup, foto untuk mengetahui letak,
susunan, dan kemungkinan ada kelainan pada gigi. Setelah melalui serangkaian proses foto
rontgen, akhirnya hasil foto panoramic ada ditangan saya. Dan, ternyata,
penyebab dari nyeri hebat beberapa bulan ini adalah adanya gigi molar 3 atau
biasa disebut gigi bungsu yang tertanam di rahang kanan bawah atau lebih sering
disebut dengan impaksi.
Setelah berkonsultasi dengan
dokter gigi, saya dirujuk ke dokter spesialis bedah mulut dan direncanakan
untuk operasi minor atau sering dikenal dengan istilah odontektomi keesokan
harinya. Okelah, segera, cito, semakin
cepat semakin baik. Meskipun terbayang lagi fobia bor dan alat pencabut gigi
lainnya.
Jadwal operasi pun ditetapkan.
Sebelumnya saya ditanya lebih dahulu, apa sudah makan, keadaan fit, apa punya
penyakit sistemik atau tidak. Setelah dicek tekanan darah dan dirasa ok,
dimulailah proses odontektomi dalam ruangan operasi minor itu.
|
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiaujTB25z4ILU8BaXZ3pNZMAFtoDN_cpTU4MkaM8Y-wcI6dPaP_pN037jwajvOkfUSsFPjyEbaCh9ScJjErHoN4GVaZhvlm2TYNFDWXMq_r6jUYB8sMKPzGmgzo2PhT69awPf6DPB6mv9s/s1600/gigi+ladybird.jpg |
Lokal anastesi dimulai, gusi dan
beberapa bagian di daerah bukal( pipi ) saya ditusuk-tusuk dengan spuit berisi
lidokain. Cukup nyeri, tetapi saya tetap bertahan. Sempat terlintas novel “
Dahlan Iskan” yang berjudul “ Ganti Hati”. Di situ beliau bercerita bagaimana
ketahanan dan kesabaran beliau menghadapi rasa nyeri agar segera sembuh. Dan
perlahan saya menciptakan sugesti. Taka apa, ini hanya sebentar saja. :D
Sang dokter spesialis bedah mulut
mulai melakukan aksinya ketika dirasa saya sudah tidak berespon pada sentuhan
dan tusukan. Mulai diincisi lah gusi saya, dan dibor tulang mandibula, dan
sebagian gigi dipotong karena ada perlekatan dengan gigi di depannya. Sesekali
saya meringis karena masih bisa merasakan nyeri, yang membuat sang dokter
berhenti sejenak meskipun melanjutkan kembali operasi hingga tuntas. Never give up, mungkin itu yang
diucapkan dalam hati beliau. :D
Setengah jam berlalu, akhirnya
sang gigi molar 3 berhasil juga terlepas dari peraduannya. Sang dokter
membersihkan fragmen atau pecahan tulang, mengirigasinya, kemudian menjahitnya.
Ah, legaaa… Tetapi, tunggu. setelah beres dengan urusan gigi molar kanan,
ternyata ada lagi urusan dengan gigi geraham/molar kiri.
Gigi geraham 1 kiri bawah yang
gagal pencabutan hingga hanya menyisakan akar itu pun akhirnya harus ikut
dicabut. “ Sekalian sakitnya” begitu kata sang dokter. What?? Baiklah kalo
begitu, akhirnya dengan pasrah saya menyerahkan akar(radix) gigi geraham saya
itu. Sedih juga harus berpisah dengannya, hehehe..lebaay.
Pencabutan radix dengan separasi
(pemisahan gigi) ini berlangsung cukup singkat dan tidak sesukar pengambilan
gigi yang impaksi. Setelah dibersihkan gusi dijahit, dipasang tampon, dan saya
diperbolehkan pulang dengan buah tangan resep dari dokter.
Malamnya pipi saya bengkak, darah
mengalir terus menerus, dan yang menyiksa adalah untuk sekedar minum air putih
apalagi makan pun sakitnya tidak terkira. Karena tidak tahan menahan dahaga
akhirnya saya meminta tolong suami
membelikan “ sedotan” dan sereal agar perut yang keroncongan dari tadi sedikiti
terisi. Nyeri telan dan sukar tidur pun menjadi sajian yang harus saya nikmati.
Lagi-lagi saya teringat tentang semangat sang Dahlan Iskan mengatasi nyeri
setelah operasi.
Hari kedua, gusi saya masih
mengeluarkan perdarahan, meskipun sudah
banyak berkurang. Setidaknya saya sudah dapat makan bubur. Dan yang paling
menyedihkan, di kondisi seperti ini saya nyidam pengen makan “kacang telur”.
:D:D. Begitulah, hari demi hari saya lalui dengan meminum antibiotic selama 3
hari, antiinflamasi dan analgetik untuk mengurangi pembengkakan dan rasa nyeri.
Obat kumur pun saya gunakan agar tidak ada bakteri-bakteri di sudut mulut
karena pencapaian sikat gigi tidak sesempurna biasanya.
Dua minggu terlalui, nyeri sudah
mulai berkurang. Analgetik tidak saya minum rutin lagi, tetapi hanya jika
diperlukan. Tetapi, sebuah tragedi terjadi. Rasa nyeri hebat, bahkan melebihi
rasa nyeri sebelum operasi datang lagi. Analgetik tingkat rendah sudah tidak
mempan lagi. Rasa terbakar dan nyeri menjalar di rahang bawah ke telinga ,
mata, hingga kepala. Dan parahnya rasa nyeri itu muncul di sore hingga malam
hari di saat istirahat atau saat pagi ketika akan masuk kantor. Analgetik
dengan sedasi pun mulai saya konsumsi dan sedikit berkurang nyerinya meskipun
hanya sementara. Berbagai fikiran dan self diagnosis pun mulai menghantui.
Apakah neuralgia trigeminalis? Terjadi neuropraxia yang membutuhkan
mikrosurgeri? Apakah ada infeksi, dry
socket? Haruskah jahitan dibuka lagi? Dioperasi dan dibor lagi? Dan
berbagai macam kemungkinan membayang di kepala saya. Kadang saya
tersenyum,mungkin seperti inilah yang dialami oleh pasien, orang yang sakit.
Penasaran dengan sakit yang dideritanya. Tapi tentu saja hanya sesekali saya
tersenyum, karena nyeri berdenyut dan rasa terbakar membuat saya lebih memilih
diam dan hanya berbicara sesekali dengan suami. Sering kali suami menggoda,
bahwa akhir-akhir ini senyum saya adalah :senyum
setengah hati”. Walah.. :D
Belum lagi, seringkali saya
ditertawakan oleh saudara, teman, atau keluarga “ alah, dulu saya cabut gigi 6 saja tidak apa-apa. Kamu cuma cabut satu
gigi saja kok kaya orang habis melahirkan”. Lagi, saya cuma senyum setengah
hati, sambil membayangkan gimana ya nyeri setelah melahirkan karena memang
belum berpengalaman merasakan sendiri.
Tetapi pada akhirnya saya pasrah.
Jika memang harus dilakukan tindakan agar saya dapat sembuh, insya allah akan
jalani. Saya mulai menyusun lagi jadwal untuk kontrol ke dokter gigi. Bersiap
dengan kondisi terburuk dan berharap pada kondisi terbaik. Lagi, saya mencatut
doa Dahlan Iskan yang berupa kepasrahan ketika dirinya dioperasi. Tuhan, terserah Engkau sajalah….. (Bersambung)